Oleh Feri Latief
Nationalgeographic.co.id—Sore itu menuju senja di Banda Neira, ada secuplik keriuhan. Tepatnya di halaman belakang rumah pengasingan Bung Hatta. Sebuah konser musik bersahaja. Petikan gitar dan alunan suara merdu Is atau Mohammad Istiqomah Djamad, mantan biduan Payung Teduh, membahana memecah sore yang meremang.
Harum mawar di taman
Menusuk hingga ke dalam sukma
Dan menjadi tumpuan rindu cinta bersama
Di sore itu menuju senja
Is mengakhiri lagu Menuju Senja sambil disambut riuh tepuk tangan dan teriakan segelintir anak-anak muda Banda Neira, Maluku Tengah. Lima belas orang dari yang hadir adalah murid-muridnya yang baru saja menyelesaikan kelas Workshop Penciptaan Lagu.
Selama seminggu ia membagi pengalamannya dalam mencipta lagu. Puncaknya, ya konser itu. Anak-anak Banda Neira digemblengnya untuk berkarya. Pengajarannya lewat pertemuan di dunia maya atau daring dan sisanya lewat pertemuan tatap muka langsung di kelas selama tiga hari pada tanggal 2-4 Agustus 2021.
Murid-muridnya diajak untuk menjadikan apa yang dimiliki sebagai sumber inspirasi mencipta lagu. Apalagi Kepuluan Banda memiliki alam nan indah permai.
“Mereka hidup di sini, mereka bisa cerita keluar,” ujar Is.
Kondisi alam Kepulauan Banda yang elok ini menjadi bagian identitas mereka. Lebih lanjut Is bercerita saat pertama kali menjejakkan kaki di Banda Neira.
“Kemarin saya baru posting di Instagram saat mendarat disini. Jangan pernah melupakan identitas. Karena identitas itu yang membuat kita punya arti, jangan pernah kita lupakan apalagi dilepaskan,” tegasnya.
Baca Juga: Sihir Senja di Kepulauan Banda dan Kampung-kampung Nasionalisnya
Anak-anak muda Banda Neira diajaknya mengenali kelebihan dan kekurangannya. Dibangun kesadarannya bahwa negeri tempat tinggal mereka adalah sumber inspirasi tanpa batas. Is juga membagikan teknis bagaimana membuat komposisi, penulisan lirik dan produksi sebuah karya.
Menurut salah satu peserta didiknya, Muhammad Junaedi Dide yang biasa dipanggil Ongen (31 tahun), Is mengajarkan bagaimana agar ia dan peserta lainnya memanfaatkan waktu dan membulatkan tekad untuk membuat sesuatu atau karya tanpa harus menunggu fasilitas tersedia. Harus berani memanfaatkan fasilitas yang ada.
Karena tinggal di kepulauan yang terletak di laut dalam yang jauh kemana-mana tentu saja fasilitas tidak bisa disamakan dengan yang tinggal di kota-kota besar. Kalau menurut Is, “Bass saja tidak ada di sini!”
“Kita tetap harus semangat, begitu intinya,” ujar Ongen yang juga arsitek jebolan salah satu perguruan tinggi swasta di Makassar.
Banyak yang ia dapatkan selama mengikuti worksop penciptaan lagu ini. Yang membekas sekali dan selalu ia ingat adalah mereka saat diminta untuk rajin mendengarkan musik, lalu mempelajari nadanya, setelah itu berlatih membuat harmoni, dan yang terakhir membuat lirik lagu. Ke depan ia berharap fasilitas untuk bermusik semakin memadai di Banda Neira ini.
Baca Juga: Ketika Setengah Kilogram Pala Banda Dibeli Seharga Tujuh Sapi Gemuk
Sisir Kota Pesisir
Bagi Is datang ke Banda Neira adalah keinginannya yang sudah lama terpendam. Ia memimpikan kakinya menjejak di nusa rempah penghasil biji pala terbaik di dunia yang menjadi awal kolonialisasi Belanda di bumi Nusantara.
“Untuk bisa ke sini sebuah cita-cita sebenarnya,” jelas Is.
Selain mengajar, kesempatan ini juga sekaligus ia jadikan survei untuk proyek musik Sisir Kota Pesisir (SKP) yang sedang ia terus kerjakan. Belakangan ini Is sering bertandang ke Indonesia Timur mengunjungi kota-kota pesisir.
Dalam proyek Sisir Kota Pesisir, Is membuat proyek edukasi bagi teman-teman komunitas daerah yang ia kunjungi. Melibatkan teman-teman fotografer dan videographer lokal. Teman-teman komunitas ini yang memuatkan klip video dari lagu yang ia buat di lokasi tersebut.
Mimpinya kalau ada hasil dari karya-karya lagu yang ia buat di daerah-daerah pesisir itu, akan disisihkan sebagian untuk membangun komunitas di sana.
“Sisir Kota Pesisir ini kalau bisa dibilang proyek sampai mati saya. Istilahnya, di luar saya manggung bikin album regular seperti biasanya. Ini idealisnya, ini modalin sendiri,” terang Is.
Baca Juga: Ludovico di Varthema, Sang Penentu Arah Pemburu Rempah
Dulu ia sempat mengajak berbagai pihak untuk bekerja sama, namun hasilnya kurang baik. Akhirnya ia kerjakan sendiri. Setiap tempat akan menghasilkan mini album, tiga sampai empat lagu.
Judul albumnya Sisir Kota Pesisir. Setiap volume tergantung di mana lagu itu diciptakan. Misalnya volume satu di Ternate-Tidore, volume selanjutnya Belitung atau Sumba dan tentu saja Banda Neira. Ia juga sudah merencanakan untuk mengunjungi Luwuk, Banggai, Aceh.
Apa kesan yang ia tanggap setelah mengunjungi daerah-daerah pesisir?
“Ternyata saya tidak mengenal Indonesia sama sekali! Tidak ada habisnya waktu untuk menjelajahi Indonesia,” ungkapnya jujur.
Ia ingin proyek Sisir Kota Pesisir ini membuka mata generasi muda untuk kembali ke laut. Indonesia negara bahari yang sering kali dilupakan ketika kebijakan diambil oleh yang punya wewenang.
“Minimal anak-anak kembali ke laut, setidaknya mengenal lautan dan menjaga lautnya sendiri,” ujarnya.
Baca Juga: Saat Pulau Run di Maluku Ditukar dengan Manhattan di Amerika
Ia sedih ketika menemukan tempat-tempat yang didatangi ada ketidakadilan. Azas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia nampaknya belum terwujud. Ia sedih melihat petani cengkeh di Ternate-Tidore di saat harga cukai rokok dinaikan harga cengkeh malah anjlok di pengepul. Padahal harga di luaran tinggi. Sementara petani bekerja tanpa jaminan keamanan, kadang jatuh dari pohon menjadi lumpuh dan patah tulang.
Keseimbangan dan azas keadilan ini yang belum ia lihat selama mengunjungi kota-kota pesisir. Bumi yang kaya, seharusnya warganya jadi kaya.
“Sedih sih, lebih ke sedihnya. Kesedihan ini yang ingin akan saya ceritakan dengan cara yang indah,” tutur Is.
Semua yang ia kerjakan Sisir Kota Pesisir ini tujuannya bukan sekedar materi, ini lebih menjadi perjalanan spiritualnya. Karya-karya lagunya pun lebih meditatif. Lagu-lagu Payung Teduh yang ia ciptakan saja sudah menghanyutkan apalagi sekarang ini ditambah lagi lebih meditatif, bisa dibayangkankah bagaimana hasilnya?
“Ini sudah beyond commercial,” begitu kata Is saat ditanya kenapa ia mengerjakan proyek Sisir Kota Pesisir-nya.
Itu pulalah yang membuat ia langsung menyetujui ketika diundang panitia Jalur Rempah Banda Neira untuk mengajar mencipta lagu untuk kaum muda di sana. Komunitas Jalur Rempah Banda Neira dibentuk dalam rangka merekonstruksi dan merevitalisasi peran tempat yang pernah berjaya menjadi negeri penghasil rempah dunia.
Baca Juga: Pala dan Cengkih, Rempah Nusantara yang Menjadi Primadona di Maluku
Koordinator acara, Reza Tuasikal, yang juga pengelola penginapan The Nutmeg Tree di Banda Neira, mengatakan semua yang diundang ke sana adalah atas usulan komunitas.
“Itu komunitas yang undang, anak-anak muda di sini. Ada yang bilang Ebiet G. Ade, Iwan Fals saja deh. Ada yang bilang Is Payung Teduh saja deh, ternyata dia senang bisa ke sini” jelasnya dengan lokat Maluku yang kental.
“Semuanya berbasis komunitas,” lanjutnya lagi.
Saat konser sederhana itu tampaknya semua yang hadir hafal lagu-lagu yang dibawakan Is. Tak heran jika Is didapuk untuk mengajar mereka.
Seharusnya pada tanggal 5 Agustus Is bertolak ke Jakarta. Namun apa mau dikata, cuaca yang buruk dan akses ke Banda Neira yang menantang membuat rencananya terhambat. Perjalanannya tertunda, padahal ia sudah ditunggu untuk acara yang menjadi sumber penghasilannya di Jakarta.
Akhirnya ia bisa tiba di Jakarta tepat waktu, walau sebelumnya cemas tak bisa kembali ke Jakarta sesuai jadwal. Bagi Is, bisa saja kesulitan akses di daerah pesisir di pulau terpencil ini bisa menjadi inspirasi lagi berikutnya. Jangan kaget kalau suatu hari nanti ada lagunya yang berkeluh kesah dengan kesulitan akses di daerah terpencil yang jauh dari mana-mana.
Oh Banda Niera, negeri nan indah permai namun kadang susah dicapai!
Baca Juga: Martha Tiahahu, Perempuan yang Jadi Panglima Perang di Usia 17 Tahun
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR