Nationalgeographic.co.id—Penggunaan kendaraan listrik di dunia diprediksi akan terus meningkat ke depannya. Permintaan atas baterai untuk kendaraan ini pastinya juga akan ikut meningkat.
Salah satu komponen yang paling banyak dicari untuk memenuhi permintaan baterai kendaraan listrik adalah litium. Sayangnya, keberadaan logam ringan yang penting untuk membuat baterai isi ulang itu tidaklah berlimpah.
Untuk memuenuhi permintaan atas litium akibat semakin booming-nya penjualan dan penggunaan kendaraan listrik, para peneliti mencoba mencari sumber litium di tempat-tempat yang tidak biasa, bukan di lokasi tambang. Tahun lalu, sekelompok peneliti melaporkan langkah besar menuju pemanfaatan pasokan litium yang hampir tak terbatas, yakni dengan mengambilnya langsung dari air laut.
"Ini merupakan kemajuan substansial" untuk bidang tersebut, kata Jang Wook Choi, seorang insinyur kimia di Seoul National University yang tidak terlibat dengan penemuan itu, seperti dilansir Science Magazine. Dia menambahkan bahwa pendekatan ini mungkin juga berguna untuk mendapatkan kembali litium dari baterai bekas untuk digunakan kembali.
Litium menjadi pilihan utama bahan baku pembuatan baterai isi ulang karena mampu menyimpan lebih banyak energi per beratnya daripada bahan baterai lainnya. Para produsen baterai di dunia menggunakan lebih dari 160.000 ton litium setiap tahunnya.
Jumlah ini diperkirakan akan tumbuh hampir 10 kali lipat selama dekade berikutnya. Namun persediaan litium terbatas dan hanya terkonsentrasi di beberapa negara, di mana logam tersebut ditambang atau diekstraksi dari air asin.
Kelangkaan litium telah menimbulkan kekhawatiran bahwa kekurangan di masa depan dapat menyebabkan harga baterai meroket dan menghambat pertumbuhan kendaraan listrik dan teknologi lain yang bergantung pada litium seperti Tesla Powerwalls, baterai stasioner yang sering digunakan untuk menyimpan tenaga surya di atap.
Baca Juga: Ramah Lingkungan, Baterai Masa Depan Akan Berbahan Dasar Karbon
Menurut penelitian dari para ilmuwan di Standford University, air laut bisa datang untuk menyelamatkan. Lautan dunia mengandung sekitar 180 miliar ton litium. Tapi logam ringan itu larut dalam air laut yang encer, hadir dengan kadar sekitar 0,2 bagian per juta (part per million/ppm).
Para peneliti telah merancang banyak filter dan membran untuk mencoba mengekstrak litium secara selektif dari air laut. Tetapi upaya itu bergantung pada penguapan sebagian besar air untuk memusatkan litium, yang membutuhkan penggunaan lahan dan waktu yang luas. Sampai saat ini upaya tersebut belum terbukti ekonomis.
Choi dan para peneliti lain juga pernah mencoba menggunakan elektroda-elektroda baterai litium-ion untuk menarik litium langsung dari air laut dan air asin tanpa perlu menguapkan air tersebut terlebih dahulu. Elektroda-elektroda tersebut terdiri dari material-material berlapis seperti sandwich yang dirancang untuk menjebak dan menahan ion-ion litium sebagai pengisi daya baterai.
Dalam air laut, tegangan listrik negatif yang diterapkan pada elektroda penahan litium menarik ion-ion litium ke dalam elektroda tersebut. Tapi itu juga menarik natrium, elemen kimia serupa yang sekitar 100.000 kali lebih banyak di air laut daripada litium. Jika kedua elemen itu tertarik masuk ke elektroda dengan kecepatan yang sama, natrium hampir sepenuhnya mengeluarkan litium.
Baca Juga: Memanfaatkan Bakteri Penghasil Listrik untuk Membuat Baterai
Untuk mengatasi masalah ini, para peneliti yang dipimpin oleh Yi Cui, seorang ilmuwan material di Stanford University, mencari cara untuk membuat material elektroda itu jadi lebih selektif. Pertama, mereka melapisi elektroda dengan lapisan tipis titanium dioksida sebagai penghalang. Karena ion litium lebih kecil dari natrium, lebih mudah bagi mereka untuk menggeliat melalui dan ke dalam sandwich elektroda tersebut.
Para peneliti juga mengubah cara mereka mengontrol tegangan listrik. Alih-alih menerapkan tegangan negatif konstan ke elektroda tersebut, seperti yang dilakukan peneliti lain, mereka justru membuat siklus tegangan yang tidak konstan. Pertama, mereka menerapkan tegangan negatif, dan kemudian mereka mematikannya sebentar. Selanjutnya, mereka menerapkan tegangan positif, mematikannya lagi, dan mengulangi siklusnya.
Cui menjelaskan bahwa perubahan tegangan ini menyebabkan ion litium dan natrium bergerak ke dalam elektroda, berhenti, dan kemudian mulai bergerak kembali ketika arus berbalik. Namun, karena material elektroda tersebut memiliki afinitas yang sedikit lebih tinggi terhadap litium daripada natrium, ion litium adalah yang pertama pindah ke elektroda dan yang terakhir keluar. Jadi, mengulangi siklus ini mengonsentrasikan litium di elektroda.
Baca Juga: Inilah Mobil Elektrik Pertama Rancangan Porsche
Setelah 10 siklus seperti itu, hanya dalam beberapa menit, Cui dan rekan-rekannya berakhir dengan rasio satu-ke-satu litium terhadap natrium. Mereka telah menerbitkan laporan penemuan mereka ini di jurnal Joule.
Sayangnya, upaya untuk mendapatkan litiun dengan cara ini masih belum cukup murah untuk bersaing dengan penambangan litium di darat, kata Choi Liu. Ia adalah ilmuwan material di University of Chicago yang sebelumnya adalah ilmuwan postdoctoral di laboratorium Cui dan turut terlibat dalam penelitian ini.
Namun begitu, Liu mengatakan bahwa timnya sedang berusaha untuk meningkatkan selektivitas menggunakan elektroda baterai litium-ion jenis lain. Choi menambahkan bahwa pendekatan itu mungkin juga terbukti berguna untuk memanfaatkan kembali litium dari baterai yang telah dipakai dan dibuang. Jadi, metode ini jelas sangat ramah lingkungan.
Baca Juga: Kenali Barang-Barang di Sekitar Kita yang Mengandung Limbah B3
Source | : | Science Magazine |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR