Cobalah berselancar di mesin pencari, dan ketik ‘puli’, ‘cundring’, ‘kacang gude’, ‘cabuk’, atau ‘bungkil’. Anda mungkin akan kesulitan menemukan jawabannya. Mereka adalah bahan-bahan makanan khas daerah Ponjong, Gunungkidul, Yogyakarta.
Adalah Elia Nurvista—alumnus Desain Interior di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta—yang menggagas project Adiboga Wonoasri. Sejak awal Juli 2013, di ruang galeri Kedai Kebun Forum, Elia menjalankan project berupa dapur eksperimen.
Di Ponjong, bahan-bahan makanan ini masih dikonsumsi bersanding dengan makanan ‘modern’ dan umum lainnya. Sebut saja misalnya: nasi pecel, nasi padang, gulai, dan tongseng. Hanya saja, kita hanya bisa mendapatkannya di pasar tradisional di hari pasaran, yakni Legi dan Pon. Mereka juga tidak dikategorikan sebagai makanan khas Ponjong—layaknya gudeng di Yogyakarta, atau makanan eksotis seperti lauk belalang di Wonosari.
Apa yang mendorong Elia mengeksplorasi mereka? “Saya tertarik dengan kegiatan makan. Bagi saya, memasukkan benda ke dalam tubuh membutuhkan kepercayaan atas bahan itu,” terang Elia. “Di saat saya harus memasukan makanan yang menurut saya asing—dalam hal warna, bau, tekstur—maka terjadilah tegangan.”
“Lebih jauh, saya tertarik dengan bahan makanan ini dalam kaitannya dengan letak geografis suatu area. Mungkin saja aspek geografi membentuk ‘kepribadian pangan’ daerah tersebut. Misalnya, adakah hubungan bahan pangan ini dengan Gunung Kidul sebagai daerah tandus,” urai Elia.
Elia menerapkan adiboga (fine dining) pada tampilan visual makanan, seperti peletakan masakan dan garnish di piring. Ia juga merujuk ke aturan makan à la Barat dalam hal urutan makan: appetizer, main course, dan dessert.
“Melalui project ini, saya ingin bernegosiasi dengan keasingan saya sendiri terhadap bahan-bahan pangan ini. Saya juga ingin membuat project seni, di mana penonton ikut terlibat aktif dalam proses penciptaannya,” papar Elia.
Keterlibatan aktif yang dimaksud adalah mengajukan pertanyaan, mencicipi, memasak, memberi komentar, bahkan hingga menciptakan resep bersama. Penonton tidak semata-mata melihat. Dengan demikian, transfer ilmu dua arah bisa berlangsung.
Elia dibantu sahabatnya—Syafiatudina—yang mencatat proses, mitra memasak, dan pengembang ide. Hingga akhir Juli nanti, mereka ‘praktek’ setiap hari (kecuali Selasa), mulai pukul 19.00 WIB hingga pengunjung bubar.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR