Sosok perempuan dalam kedaulatan budaya peramu, peladang, pesawah, dan maritim yang kini tercampakkan.
Nationalgeographic.co.id—Poster Bincang Redaksi-32 menampilkan patung perunggu Dewi Sri atau Dewi Padi sebagai simbol kesuburan, yang kerap dijumpai di Jawa dan Bali.
Dalam tradisi Hindu Bali, sosoknya dikenal juga sebagai Lakshmi, Dewi kekayaan dan kemakmuran keluarga. Dia begitu anggun memegang batang padi yang menjuntai di kedua tangan. Sang Dewi duduk dengan posisi ardha padmasana, wajahnya tampak berseri dengan tatapan meditatif.
sayangnya, kita tidak lagi mengenal sosoknya. Kita mungkin juga telah kehilangan peta keragaman lanskap budaya pangan yang memakmurkan. Padahal, leluhur kita begitu menghormati dan memuliakan santapan. Pangan dan segala cita rasanya tidak sekadar menandaskan lapar, tetapi juga pengiring doa-doa nan sakral.
Di Liyangan, pinggang Gunung Sundoro, yoni-yoni zaman Mataram Kuno berserak di ladang warga lebih dari seribu tahun lamanya. Betapa pangan memiliki kemulian yang dijaga sosok dewi nan agung.
Kekuatan lingga-yoni dihormati sebagai keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan lingkungan, dan manusia dengan sesama manusia. Leluhur kita meyakini hal itu sebagi jalan menuju kemakmuran dan keberadaan pangan melimpah.
Dari prasasti peresmian daerah perdikan di Majapahit, tertulis menu bersantap. Nasi berbentuk gunungan bersanding dengan racikan lauk pauk dari daging kerbau, sapi, kijang, babi, ayam, angsa, dan berbagai jenis ikan. Semuanya terhidang bersama puja-puji yang memuliakan semesta.
Dari upacara Serentaun di Jawa Barat, Sedekah Bumi dan Suran di Jawa Tengah, sampai Tapakan Lunga di Bali. Semuanya juga memuliakan sosok dewi nan agung.
Naskah dan ritual telah mengabadikan narasi pengetahuan mengolah pertanian. Tradisi ini juga mengekalkan mitologi untuk menyampaikan kecerlangan tradisi pangan Nusantara. Nenek moyang mengajarkan tetang filosofi Ibu Bumi dan Bapa Angkasa—siapakah mereka? Mengapa kehadiran mereka dalam tarian dan upacara begitu dimuliakan oleh leluhur kita?
Dibandingkan seribu tahun silam, hari ini kita memiliki kemajuan dalam teknologi prakiraan cuaca, teknologi pertanian, sampai teknologi pengolahan pangan. Namun, kini kita tak lagi mandiri dan bangga dengan ketahanan pangan Nusantara. Kita telanjur melupakan pangan sebagai kekuatan budaya; pangan sekadar pemuas hasrat lidah dan perut belaka.
Apabila pangan membentuk jatidiri kita, bagaimana kecerlangan dalam tradisi pangan Nusantara bisa kembali berjaya? Bagaimana upaya kita menemukan kembali energi penciptaan kemakmuran alam semesta?
Simak Bincang Redaksi-32 yang digelar atas kerja sama National Geographic Indonesia dan Program Studi S-1 Tata Kelola Seni Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta.
Bersama
Prof. Dr. I Wayan Dana, M. Hum.—Guru Besar Tari Jurusan Tata Kelola Seni FSR-ISI Yogyakarta
Mahandis Yoanata Thamrin—Tuan Rumah Bincang Redaksi, Managing Editor National Geographic Indonesia
Sabtu, 21 Agustus 2021
15.30 – 17.00 WIB
Silakan mendaftar via pranala bit.ly/bincangredaksi-32
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR