“Bayangkan, bertemu dengan bunga bangkai yang seludangnya menjulang di atas kepala, sampai kita tak bisa melihat apa yang ada di baliknya,” ujar Yuzammi, peneliti talas-talasan LIPI, Kebun Raya Bogor, di suatu siang di depan kantornya yang dipayungi rimbun pepohonan. Ia mengisahkan salah satu pertemuannya dengan sang bunga di kerapatan hutan Sumatra. Seludang adalah bagian bunga yang mekar.
Tak hanya bagi peneliti, sejak lampau, sang bunga raksasa punya aura yang amat memikat bahkan bagi mereka yang tinggal di belahan bumi bagian barat. Pada 1878, seorang botanis bernama Eduardo Beccari membawa umbi dan biji bunga ini ke Florence, Itali.
Bunga ini pun ditahbiskan dengan nama Amorphophallus titanum Beccari, dari bahasa Yunani kuno yaitu amorphos yang berarti tak berbentuk, phallos yang berarti penis, serta titan yang berarti raksasa. Di Indonesia, ia dikenal dengan nama bunga bangkai.
Begitu banyaknya pihak yang terkesima dengan keunikan bunga ini, bahkan menurut Yuzammi, hingga 2003 saja, ada sekitar 6.000 botanical garden dan arboretum di Eropa dan Amerika yang mengoleksi bunga bangkai. Bahkan melalu situs Botanische Gärten Bonn, Anda bisa melihat bunga endemik Sumatra ini terpampang sebagai lambang.
Pada Maret lalu, bunga bangkai yang didatangkan dari Kepahiang, Bengkulu, dibagi menjadi tiga bagian di Kebun Raya Bogor untuk diawetkan dan diboyong untuk dipamerkan dalam ajang International Horticulture Goyang 2013, Korea Selatan. Beragam situs ramai memberitakan saat tanaman ini berbunga, meraup keuntungan dari para pengunjung yang datang berbondong-bondong dengan penuh antusias.
Sayangnya, nasib sang bunga di rumah sendiri tidaklah seindah nasib saudara-saudaranya yang telah menghuni benua lain. Sejak tercantum dalam daftar Jenis-jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi dalam lampiran Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, para peneliti LIPI sendiri cukup kesulitan mendapatkan izin untuk membawa dan menelitinya.
Penulis | : | |
Editor | : | Yoga Hastyadi Widiartanto |
KOMENTAR