Nama Gordon Ramsay populer ke seluruh dunia sebagai mahaguru memasak setelah tampil dalam serial TV ”Hell’s Kitchen”. Mendengar komentarnya yang begitu keras terhadap para juru masak muda sering muncul rasa penasaran, seperti apa rasa dan penyajian makanan di restoran yang menyandang namanya itu.
Rasa penasaran itu terjawab, setidaknya sebagian, saat menjajal restoran Maze Grill Gordon Ramsay, London, sebagai bagian dari perjalanan mengunjungi industri teh Inggris, Twinings. Sesuai namanya, kekhususan restoran ini daging yang dibakar di atas arang (grill). Letaknya di kawasan elite, Grosvenor Square.
Kami disambut penjaga pintu berpakaian jas panjang, memakai rompi, dan dasi. Semua pelayan berkemeja putih dengan dasi, celana panjang, dan celemek hitam di pinggang. Mereka bekerja cepat, efisien, ramah. Sikap ini menggambarkan tuntutan Ramsay seperti diperlihatkan pertunjukan televisinya.
Suasana restoran kasual. Rabu (10/7/2013) malam, para tamu kebanyakan mereka yang pulang kantor. Dapur terbuka bersisian dengan ruang makan di bagian belakang dan tamu dapat melihat tukang masak bekerja. Dengan sistem aerasi sangat baik, asap pembakaran dari dapur tidak mengalir ke ruang makan yang berdesain modern, ringan, dan efisien.
Di meja makan kayu hanya ada serbet putih, gelas berwarna merah untuk air minum, dan lilin kecil dengan sendok-garpu tiap kali berganti mengikuti makanan yang disajikan. Meskipun berkesan sederhana, semua terasa dipikirkan dengan baik sehingga suasana kasual dan hangat pun terbentuk.
Makanan pembuka
Suasana restoran penting untuk membangkitkan selera, tetapi restoran akan dinilai dari makanan yang disajikan.
Untuk mengawali, roti gandum berkulit dengan zaitun hijau disajikan di tatakan kayu. Masing-masing kami menyobek roti lalu mencelupkan ke dalam satu cawan bersama berisi minyak zaitun. Di dasarnya ada saus kecoklatan. Rasanya gurih dan sedikit manis.
Sambil menunggu hidangan utama, ada makanan pendamping. Sus mini berempah berisi keju gruyere yang meleleh begitu masuk ke mulut. Rasanya gurih dan lembut. Bola nasi dengan keju (arancini) digoreng hingga kuning keemasan juga terasa lembut.
Lalu ada jagung letus (popcorn) rasa lemon. Terasa aneh, mungkin karena yang tertanam dalam ingatan lidah adalah popcorn rasa asin atau manis. Tetapi, itulah guna seorang Ramsay, selalu bereksperimen mencari batas-batas baru dalam penciptaan rasa.
Untuk salad, ada salmon vodka. Irisan daging salmon segar direndam dalam vodka lalu disajikan dengan selada frisee. Salmon menjadi lebih lembut dan terasa manis. Dengan daun frisee yang renyah dan sedikit getir, sajian ini menjadi makanan yang menggelitik cita rasa. Sementara, warna kontras salem salmon dan kekuningan dan frisee mengingatkan pada suasana musim panas.
Daging bakar
Akhirnya, makanan utama datang juga. Cara penyajiannya sederhana, tetapi berkonsep. Daging sapi bakar disajikan di atas tatakan kayu sehingga memudahkan pemotongan. Garpu sudah disiapkan lebih dulu di meja, tetapi pisau daging disisipkan di sisi atas tatakan dan dibungkus kertas bertuliskan medium-rare.
Saya memesan has luar (sirloin), dibakar medium-rare. Bukan sembarang daging. Daging sapi di restoran ini sebelumnya dilayukan dengan dry-aging selama 28 dan 31 hari. Dry-aging adalah proses ”pelayuan” daging agar kandungan air menguap dan enzim di daging memecah serat-serat daging. Hasilnya, rasa daging sangat terkonsentrasi dan empuk alami.
Cara pembakaran sederhana, tetapi jangan terkecoh. Penyajian ini menyembunyikan konsep memasak yang dipikirkan mendalam. Daging dibakar memakai arang kayu untuk menghasilkan panas tinggi sehingga daging dengan cepat kering, bahkan hampir bercangkang, di bagian luar. Cangkang tersebut mengunci jus daging di dalam serat.
Steak yang dihasilkan menjadi pas di lidah: kering dan renyah di luar, lembut dan berjus di dalam. Warna daging apik sekali. Kecoklatan di luar dan memerah di dalam. Walau sepintas terdengar mudah, tidak semua juru masak bisa menghasilkan daging bakar yang pas seperti ini. Butuh perasaan dan pengetahuan tentang panas, lama memanggang, dan karakteristik daging.
Daging yang baik tidak butuh hidangan sampingan yang menyembunyikan atau membaurkan rasa. Di meja tak disajikan garam atau merica karena memang tidak perlu.
Selain daging bakar, di atas talenan juga ada setengah bonggol bawang putih panggang. Rasanya manis-gurih, tetapi tidak menyengat. Karena disajikan terpisah, bawang justru menguatkan rasa daging.
Sebagai teman daging bakar, tersedia hidangan pendamping, seperti coleslaw, potongan kentang goreng berkulit, bayam kukus, dan jamur portobelo goreng disajikan dalam mangkuk-mangkuk kecil untuk dicomoti bersama. Ini mengingatkan pada suasana makan rumahan.
Sebagai penutup, brownies dengan kacang hazel dibarengi es krim. Yang mengejutkan, rasa es krimnya gurih, tanpa manis. Meski rasanya tak biasa, ternyata nikmat di lidah.
Sam Okin dari Lotus PR yang menangani informasi media Gordon Ramsay Holdings menjelaskan, inspirasi Maze Grill adalah tempat-tempat grill di New York. Restoran ini menyediakan daging sapi, ayam, dan ikan laut panggang. Bila suka juga ada sushi.
Juru masak kepala Matt Pickop menyediakan daging sapi Aberdeen Angus, Dedham Vale, USDA Prime, dan Wagyu dengan nilai perlemakan 9. Tentang harga, tanpa pajak dan hanya untuk daging sapi bakar, dimulai dari 26 pound dan yang termahal 125 pound per orang untuk menu iga sapi Wagyu. Pengalaman tadi menjawab rasa ingin tahu mengapa Ramsay saat ini memiliki 14 bintang Michelin.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR