Cobalah buat daftar para pemain sepak bola hebat asal Belanda. Simpel. Anda bisa mengurutkannya dalam jejeran nama yang panjang. Pemain-pemain berkualitas seperti Robin van Persie, Arjen Robben, hingga Wesley Sneijder bisa dikedepankan.
Itu baru dari deretan para pesepak bola yang masih aktif bermain. Daftarnya bisa bertambah panjang jika para pemain yang sudah pensiun ikut dimasukkan. Lihat saja, Anda bisa memasukkan nama-nama beken seperti Johan Cruyff, Ronald Koeman, Marco van Basten, Ruud Gullit, hingga Dennis Bergkamp.
Kemudahan mencari pemain hebat dari Belanda merupakan bukti kualitas sepak bola di sana. Level sepak bola Belanda nyaris bisa disejajarkan dengan kekuatan sepak bola dunia lain seperti Brasil, Spanyol, dan Jerman.
Akan tetapi, cobalah lihat prestasi yang diukir tim nasional Belanda. Anda pasti akan menemukan keanehan. Kontras dengan deretan para pemain berkualitas yang dimiliki, timnas Belanda terhitung minim prestasi. Hingga kini, mereka baru pernah menjuarai Piala Eropa 1988, tanpa pernah sekali pun meraih prestasi serupa di Piala Dunia.
Fakta ini terbilang unik karena sejatinya Belanda memiliki modal kuat. Para pemain hebat hingga pelatih berkualitas dimiliki. Namun, tetap saja itu belum cukup. Belanda masih terperosok ke dalam krisis prestasi jika diukur dari potensi yang seharusnya bisa diraih.
Ada apa dengan Belanda? Hingga kini, Belanda masih mencari jawaban terbaik. Namun, prinsip egaliter yang merasuk di masyarakat Belanda bisa menjadi salah satu jawaban.
Secara umum, egalitarianisme adalah pandangan yang memandang semua orang itu sederajat. Tidak ada perbedaan antara satu orang dengan lainnya. Semua punya hak dan kewajiban sama tanpa melihat status maupun asal muasalnya. Prinsip ini begitu mengakar di Belanda. Di sana, setiap orang diperlakukan sama. Bahkan, melihat seorang Chief Executive Officer sebuah perusahaan bonafide membuat minuman sendiri atau melakukan foto copy sendiri adalah pemandangan biasa.
TIM SUSAH DIATUR
Pandangan ini ternyata berimplikasi ke sepak bola. Belanda memang memiliki segudang pemain dan pelatih hebat. Namun, sulit sekali menyatukan mereka ke dalam satu tim yang solid. Karena prinsip egaliter yang begitu kuat, mereka susah diatur. Hanya melalui konsesus, orang Belanda bisa diminta untuk bekerja sama. Jika tidak, jangan harap hadir sebuah kesepakatan bersama.
Kalau berjalan dengan baik, konsensus memang menjelma menjadi kolektivitas tim. Namun, praktiknya, prinsip egaliter malah sering memicu konflik. Ada saja pihak menantang otoritas karena merasa sejajar. Secara konkret, di timnas Belanda, pelatih pun sering tidak mendapat respek.
Keluhan yang pernah dilontarkan oleh pelatih kenamaan Belanda, Louis van Gaal ketika gagal meraih kesuksesan saat menangani De Oranje pada 2000 hingga 2003 bisa menjadi contoh terbaik. Dalam buku Briliant Orange The Neurotic Genius of Dutch Soccer karya David Winner, dia berkata, “Kami kehilangan kontrol dalam pertandingan karena ada beberapa pihak di dalam tim yang tidak menepati kesepakatan.”
Fatal. Dalam sepak bola yang merupakan olahraga tim, kolektivitas tinggi amat diperlukan. Sebuah tim akan sulit tampil solid jika masih bersikap individual. Mantan pemain Belanda pada era 1970-an, Barry Hulshoff, menyadari itu sebagai kelemahan timnasnya yang belum hilang hingga kini.
“Ketika semua sejajar dalam level yang sama, putusan harus dibuat bersama. Namun, inilah yang merusak tim hebat. Lebih baik ada seseorang dari luar yang mengatur semua. Baru kemudian, kami bisa berbicara dalam level setara. Oleh karena itu, pelatih diperlukan. Tim tidak bisa melakukannya. Tim tidak akan bisa membuat aturan,” tutur Hulshoff.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR