Bagaimana tradisi saling titip anak itu muncul? Menurut Yumalinda semua itu tidak begitu saja muncul, pasti ada akarnya. Ia mencontohkan adat istiadat perkawinan di Papua yang mengharuskan membayar mahar kepada pihak keluarga mempelai wanita.
Saat suatu pernikahan tanpa mahar terjadi maka salah satu anak dari pasangan itu akan diambil sebagai pengganti mahar. Anak itu diambil untuk diasuh sekaligus pengganti maharnya.
Ada lagi adat di Biak, Asmat, dan Wamena yang mulai memisahkan anak laki-laki untuk tinggal bersama di sebuah rumah bujang atau honai. Yang lebih tua berfungsi sebagai orangtua asuh yang mengajarkan segala hal tentang kehidupan. Semua laki-laki hidupnya di honai.
Jadi sesungguhnya mengasuh anak anggota keluarga yang lain sudah menjadi tradisi di Papua. Tapi bagaimana dengan Seba Kasoi yang bukan pengganti mahar dan bukan anak laki-laki yang diasuh di honai?
Persoalan Seba adalah persoalan kemiskinan. Apa pun itu, yang diterima Seba adalah sebuah bentuk kearifan lokal dari Papua tentang bagaimana suatu keluarga saling membantu dan menopang kehidupan saudara lainnya demi kehidupan dan kemajuan bersama.
Dari tradisi itu terbangun rasa saling memiliki antar-anggota keluarga. Tali silaturahmi terus berlanjut sampai turun temurun.
Dan Seba Kasoi yang senang mengaji dan menonton kartun, belajar hidup mandiri jauh dari orangtuanya. Sambil meringankan beban tante yang menanggung biaya hidupnya dengan berjualan es lilin. Terlepas dari begitu rendahnya upah yang ia dapat.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR