Perawakan murid perempuan itu lebih kurus dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya. Tinggi badannya pun lebih tinggi dibandingkan teman-teman kelas empat di SD Inpres Negeri Babo, Teluk Bintuni, Papua Barat. Nama anak perempuan itu Seba Kasoi, umurnya baru sepuluh tahun, ia duduk di bangku kelas empat.
Seba seperti juga kebanyakan murid yang lainnya ia senang saat lonceng tanda istirahat dibunyikan di sekolahnya. Bedanya, saat anak-anak lain berhamburan ke lapangan sekolah untuk bermain atau ke warung untuk jajan, Seba sibuk dengan termos es lilin yang dibawanya.
Sesaat kemudian dengan termos es-nya ia bergabung dengan teman-temannya di lapangan. Bukan untuk bermain, tetapi untuk menjajakan es lilin jualannya. Satu persatu teman-temannya membeli es lilin miliknya. Harga perbuahnya Rp1.000. Sebelum bel tanda istitrahat usai termos es lilinnya sudah habis terjual.
“Setiap hari saya membawa 30 es lilin”, jawab Seba saat ditanya berapa banyak es lilin yang dijualnya. “Saya dapat Rp2.000 untuk jajan”. Seba menjelaskan bahwa ia hanya mendapat upah harian dari hasil keringatnya bukan presentase hasil penjualan. Upah Rp2.000 tentu saja sangat murah. Ada kesan eksploitasi anak pada jawabannya.
“Ini punya tante, saya tinggal dengan tante saya," jawabnya ketika ditanya siapa bandar es lilin itu. Kemana orang tuanya?
“Mama kerja di tempat lain seminggu sekali pulang ke Babo,” Seba menerangkan kenapa ia tinggal dengan kakak ibunya.
Ternyata bukan hanya ia sendiri yang tinggal di rumah tantenya tapi juga dua kakaknya yang sekolah di SMP dan SMA di kota yang sama. Dari beberapa sumber yang didapat ternyata sudah menjadi tradisi di beberapa daerah di Papua seperti di Sorong, Nabire, dan Biak anak dititipkan kepada saudara di kota lain.
Biasanya dititipkan kepada saudara yang secara ekonomi bisa menunjang. Tujuannya agar memperoleh pendidikan dan kemajuan yang lebih baik. Hal ini disampaikan oleh D. Johannes Rumere , 45 tahun, konsultan pendidikan bagi pemerintah daerah kabupaten Bintuni, Papua Barat.
“Di Papua ada tradisi menitipkan anak kepada saudaranya yang lain”, jelas pria tinggi besar asal Biak ini. Ia menjelaskan bahkan di Sorong sudah berbentuk yayasan untuk menghimpun dana untuk membiayai pendidikan warga sesuku, sekampung atau semarga.
“Kalau nanti anak yang dititipkan berhasil, menjadi orang, nanti dia bisa bantu saudaranya yang lain. Seperti investasi sosial”, jelasnya.
Yumalinda Daserona, 42 tahun, rekan kerja Johannes Rumere punya pengalaman pribadi soal menitipkan anak kepada anggota keluarga yang lain. “Anak laki-laki saya ikut adik saya di Manado. Dia kuliah semester dua di Unversitas Sam Ratulangi”, terang Yumalinda.
Dia bisa menitipkan anaknya kepada adiknya karena dulu dialah yang membiayai adiknya kuliah sampai berhasil. Prinsip timbal balik masih dipegang kuat di Papua. “Biaya kuliahnya adik yang menangung, tapi biaya sehari-hari saya yang menanggung. Pada umumnya orang Papua begitu,” jelas perempuan yang sehari-hari menangani bidang keuangan ini.
Waktu ditanya sejak kapan tradisi itu berlangsung. “Sejak dari dulu begitu. Saya juga begitu. Karena keluarga saya punya banyak anak saya dititipkan ke tete (kakek). Saya besar di keluarga ibu saya. Bahkan saya dapat warisan uang pensiun tete (kakek) saya”, kenang Yumalinda tentang masa kecilnya.
Bagaimana tradisi saling titip anak itu muncul? Menurut Yumalinda semua itu tidak begitu saja muncul, pasti ada akarnya. Ia mencontohkan adat istiadat perkawinan di Papua yang mengharuskan membayar mahar kepada pihak keluarga mempelai wanita.
Saat suatu pernikahan tanpa mahar terjadi maka salah satu anak dari pasangan itu akan diambil sebagai pengganti mahar. Anak itu diambil untuk diasuh sekaligus pengganti maharnya.
Ada lagi adat di Biak, Asmat, dan Wamena yang mulai memisahkan anak laki-laki untuk tinggal bersama di sebuah rumah bujang atau honai. Yang lebih tua berfungsi sebagai orangtua asuh yang mengajarkan segala hal tentang kehidupan. Semua laki-laki hidupnya di honai.
Jadi sesungguhnya mengasuh anak anggota keluarga yang lain sudah menjadi tradisi di Papua. Tapi bagaimana dengan Seba Kasoi yang bukan pengganti mahar dan bukan anak laki-laki yang diasuh di honai?
Persoalan Seba adalah persoalan kemiskinan. Apa pun itu, yang diterima Seba adalah sebuah bentuk kearifan lokal dari Papua tentang bagaimana suatu keluarga saling membantu dan menopang kehidupan saudara lainnya demi kehidupan dan kemajuan bersama.
Dari tradisi itu terbangun rasa saling memiliki antar-anggota keluarga. Tali silaturahmi terus berlanjut sampai turun temurun.
Dan Seba Kasoi yang senang mengaji dan menonton kartun, belajar hidup mandiri jauh dari orangtuanya. Sambil meringankan beban tante yang menanggung biaya hidupnya dengan berjualan es lilin. Terlepas dari begitu rendahnya upah yang ia dapat.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR