Hati-hati memperlakukan gundukan tanah yang kelihatannya sudah berusia lama. Terlebih lagi apabila lokasinya tak seberapa jauh dari peninggalan bersejarah seperti candi. Boleh jadi, di bawah gundukan tanah semacam itu tersimpan sisa-sisa atau reruntuhan struktur bangunan yang juga tergolong cagar budaya.
Dalam dunia penelitian arkeologi, gundukan-gundukan semacam itu bukanlah tanda diabaikan. Seringkali memang dibiarkan demikian dengan beberapa alasan, antara lain: menunggu saat melakukan ekskavasi (penggalian) yang lebih terencana dan memadai, memang ditimbun lagi karena strukturnya terlalu rusak dan mustahil dipugar lagi, serta menghindari kerusakan lebih parah.
Di Muarajambi, situs percandian yang digunakan pada masa Kerajaan Sriwijaya dan Melayu, gundukan-gundukan seperti itu banyak dijumpai. “Masyarakat di sini menyebutnya menapo,” jelas Abdul Hafiz, pemuda asli Muarajambi yang aktif dalam pelestarian situs percandian di sekitar desanya. “Menapo-menapo semacam ini ada juga yang ditemukan di lahan kebun atau pekarangan orang,” lanjut Ahok, sapaan akrabnya.
Di Karawang, Jawa Barat, di kompleks percandian Batujaya, gundukan semacam itu juga cukup banyak ditemui. Masyarakat setempat menyebutnya unur atau onur. “Kadang kala unur dikeramatkan oleh penduduk, sehingga mereka tidak berani mendekat,” ucap Amelia Driwantoro, peneliti dari Puslitbang Arkeologi Nasional kepada awak National Geographic Indonesia beberapa tahun lalu saat kami berada di Batujaya.
“Sedikit banyak, hal itu menguntungkan bagi dunia arkeologi, karena situs-situs yang belum diteliti itu cukup terlindungi,” katanya.
April lalu di Muara Takus, Riau, saya juga melihat suatu gundukan. Pada suatu denah yang dibuat oleh peneliti Belanda pada 1930-an, gundukan itu ditandai. Di lokasi, saya menelepon Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar, Fitra Arda. “Benar, memang di bawah gundukan tersebut ada sisa-sisa struktur peninggalan bersejarah. Kondisinya sangat rusak. Kalau dibuka akan lebih rusak. Lebih baik dibiarkan demikian agar aman, nanti bisa diteliti lagi,” jelas Fitra.
Kepada masyarakat umum, para peneliti mengimbau agar melaporkan kepada instansi yang ahli dan berwenang, yakni lembaga arkeologi atau BP3, jika kebetulan menemukan struktur bangunan yang diduga peninggalan bersejarah. “Penggalian peninggalan bersejarah tidak boleh dilakukan sembarangan. Harus ada izin resmi dan dengan metode arkeologis,” kata peneliti Puslitbang Arkenas Bambang Budi Utomo, suatu kali.
Kisah mengenai Kerajaan Sriwijaya dimuat dalam majalah National Geographic Indonesia edisi Oktober 2013.
Penulis | : | |
Editor | : | Reni Susanti |
KOMENTAR