Setelah puas menikmati pesona kaldera Sinabung, kami turun sebelum siang menampilkan terik sinar matahari yang garang. Turun gunung menjadi lebih sulit dibanding saat naik karena satu teman kami sakit. Belum lagi “tanjakan patah hati” membuat kami harus merosot.
Menuruni tanjakan dengan pantat sebagai rem. Kami kembali melewati trek gembur berlumpur, tetapi dalam keadaan terang berlimpah sinar alami. Sesampai di bawah ada kelegaan tersimpan.
Ada kerinduan yang mendadak melekat setelah puncak Sinabung hanya bisa dilihat di ketinggian. Kerinduan yang begitu cepat tercipta. Saya tak kuasa melawan keinginan untuk menoleh ke belakang saat kepulangan kami.
(Kisah pendakian Gunung Sinabung di Sumatra Utara telah diterbitkan di Majalah National Geographic Traveler edisi Juli 2013, bagian pertama kisah pendakian ini dapat dibaca via Merindu Sinabung)
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR