Tengah malam menjelang, pendakian dimulai. Cahaya rembulan jadi penerang selagi kami berjalan santai melewati lahan milik warga, di antara pagar bambu kebun sayuran cabai dan tomat. Kami terus berjalan menjaga irama agar anggota baru tidak lekas kehabisan tenaga. Rumput semak setinggi lutut mencambuk betis di batas antara hutan dan ladang petani. Jalan setapak mulai terlihat samar.
Tiba-tiba… sreet buk! Suara kaki tergelincir diikuti jatuh berdebum. Satu per satu kami terpeleset. Dirisan hujan membuat pendakian lebih sulit. Sisa dedaunan dan batang lunak membentuk medan gembur. Air hujan menggenapinya menjadi becek berlumpur. Belum lagi lumut di bebatuan dan batang perdu yang menjadikan pegangan licin.
Kondisi lintasan yang licin semakin berat karena kami harus sering melewati bagian trek yang hampir tegak. Kami harus memilih bagian batu atau akar pohon yang kokoh sebagai pijakan atau pegangan.
Pendakian menembus hutan perdu ini membuat kami serasa melewati lorong-lorong dalam kungkungan pepohonan. Kadang kami tak mampu melihat langit karena tertutup dedaunan. Kadang langit menampakkan pola abstrak berwarna keabu-abuan lewat celah daun.
Di beberapa bagian trek, air gunung mengalir di pinggir lintasan atau memotong jalan. Airnya jernih dan menyegarkan untuk menyeka keringat. Di bawah akar yang saya duduki di kesekian kali kami beristirahat, suara gemiricik air di bawahnya memberi simfoni pelengkap imajinasi.
Keringat bercucuran. Hidrasi dijaga dengan mengonsumsi cukup minum. Sebelum mencapai puncak, kami menemui satu tanjakan tinggi dengan kemiringan nyaris 80 derajat.
Para pendaki menyebut dinding batu ini sebagai “tanjakan patah hati” karena membuat banyak pendaki patah semangat atau jera. Di tanjakan ini pendaki benar-benar merayap dengan kaki tangan beraksi layaknya Spiderman.
Dua rekan kami dengan bersusah payah menaklukan tanjakan ini. Meski harus didorong dari bawah dan ditarik rekan lainnya dari atas. Setelah berupaya sekuat tenaga, akhirnya kami bisa menapaki puncak. Semburat cahaya kuning keemasan bertumpang tindih dengan awan di timur menandai datangnya pagi.
“Jarang bisa melihat sinar matahari kuning dan cerah dari sini. Setiap kali saya ke sini selalu berkabut,” kata Roges dengan raut berbinar. Saya merasa beruntung menyaksikan pemandangan menakjubkan ini.
Rasa lelah terbayar. Seperti bocah yang menemukan mainan, saya berlari mencari sudut pemotretan yang tepat karena tak ingin cahaya Mentari berangsur pucat. Kerikil berderai tersepak sepatu saya yang mengempas karena ayunan cepat.
Puas menikmati keelokan kubah baru Sinabung hasil erupsi 2010, kami memasak air untuk ngopi. Selanjutnya dengan sigap Roges merakit kompor dan bersiap memasak. Dia menanak nasi lalu membuat mi instan dan telur. Sarapan sederhana namun begitu terasa nikmat.
Puas bersantap dan bercanda riang, saya bersama dua rekan mencoba mencapai kubah dengan berjalan melingkar menyusuri bibir kaldera. Di sisi bagian timur terdapat “sungai” sisa tempat material vulkanik letusan meluncur turun. Di bagian ini kami harus benar-benar menjaga pinjakan karena konturnya labil.
Bibir kaldera berupa tumpukan kerikil, batu, dan pasir. Bebatuannya berwarna putih dan abu-abu. Risiko terbesar adalah terpeleset dan meluncur ke jurang di bawahnya. Jantung berdesir seiring aliran adrenalin. Kekhawatiran dikalahkan oleh pesona gunung berapi yang memikat. Mendekati puncak kubah baru, asap belerang semakin pekat. Membuat paru-paru tak nyaman bernapas.
Asap putih mengembus sewaktu-waktu dibelokkan angin. Panas terasa di permukaan wajah saat asap belerang menerpa. Di depan kami menjulang bongkahan batu seperti pilar-pilar kokoh yang runcing.
Sejenak saya teringat permukaan steroid dalam film Armageddon besutan sutradara Michael Bay. Di balik kebengisannya ketika murka, Gunung Sinabung menyimpan keindahan yang menggetarkan. Tanah suburnya menjadi berkah bagi warga di sekitar. Demi menjaga ketentraman warga sekitar gunung, beberapa saat lalu digelarlah ritual tolak bala Sarilala di Desa Gurukinayan di Kecamatan Payung, Kabupaten Karo. Seorang dukun perempuan memimpin ritual itu.
Setelah puas menikmati pesona kaldera Sinabung, kami turun sebelum siang menampilkan terik sinar matahari yang garang. Turun gunung menjadi lebih sulit dibanding saat naik karena satu teman kami sakit. Belum lagi “tanjakan patah hati” membuat kami harus merosot.
Menuruni tanjakan dengan pantat sebagai rem. Kami kembali melewati trek gembur berlumpur, tetapi dalam keadaan terang berlimpah sinar alami. Sesampai di bawah ada kelegaan tersimpan.
Ada kerinduan yang mendadak melekat setelah puncak Sinabung hanya bisa dilihat di ketinggian. Kerinduan yang begitu cepat tercipta. Saya tak kuasa melawan keinginan untuk menoleh ke belakang saat kepulangan kami.
(Kisah pendakian Gunung Sinabung di Sumatra Utara telah diterbitkan di Majalah National Geographic Traveler edisi Juli 2013, bagian pertama kisah pendakian ini dapat dibaca via Merindu Sinabung)
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR