Bagaimana tidak kalang kabut, Soekarno adalah anak lelaki semata wayang. Gunung Kelud sedang memuntahkan amarah ketika lelaki muda itu sedang berlibur ke rumah temannya di Wlingi, Blitar. Bahkan, H.O.S. Tjokroaminoto ikutan panik memikirkan keselamatan siswa Hogere Burger School (HBS) yang indekos di rumahnya itu.
Segeralah Tjokro menyusul dengan mobilnya dari Surabaya ke Blitar. Sesampainya di Blitar, ia hanya mendapati rumah kosong dan beberapa ekor burung-burung kecil. Beruntunglah Soekarno pulang dengan selamat.
Diriwayatkan, rumah Jl. Pasarean 56 Blitar—kini Jalan Sultan Agung—adalah peninggalan Soekarmini, kakak Si Bung Proklamator. Masyarakat Blitar menyebutnya “Ndalem Gebang”. Di rumah inilah Soekarno remaja menggunakan waktu liburannya kala masih duduk di HBS Surabaya.
Sampai saat ini rumah jejak keluarga Soekarno itu masih terawat. Rumah berhalaman lapang nan rindang itu memisahkan kebisingan dari lalu lalang kendaraan. Hiasan pada atap dan susunan batu padas terentang di teras depan.
Kami memasuki halaman rumah seluas 13.200 meter persegi yang siang itu tampak sepi. Kemudian kami meniti empat anak tangga menuju pintu dan beberapa kali mencoba mengetuk pintu namun tiada jawaban.
Beruntunglah kami karena bertemu Aryo Suka Kusumo, cucu pasangan Soekarmini dan Wardojo. Pintu bercat hijau tua berteralis itu telah terbuka, kami dipersilakan memasuki ruangan utama yang dipenuhi foto-foto dan lukisan tentang Bung Karno.
“Bung Karno tidak pernah mendiami rumah ini,” Aryo membuka percakapan. Dia ingin meluruskan bahwa ini adalah rumah kakak kandung Soekarno, dan masa kecil Soekarno tidak dihabiskan di rumah ini.
Rumah ini dibeli oleh Poegoeh, suami pertama Soekarmini. Poegoeh bekerja di Kantor Irigasi Departemen Pekerjaan Umum, pemerintahan Hindia Belanda. Dialah yang membiayai sekolah Soekarno waktu di HBS Surabaya.
Sebelum Poegoeh bercerai dan pindah ke Malang, Poegoeh membelikan rumah ini untuk Soekarmini. Perkawinan mereka dikaruniai tiga putra (Soekonjono, Soejoso, Soeharsono) dan satu putri (Soekartini). Sekarang semuanya sudah meninggal.
Pada 1943, rumah ini dihuni oleh Soekarmini dan suami keduanya, Wardojo. Pasangan ini tidak dikarunia anak. Mereka hidup dengan anak-anak dari suami pertama Soekarmini.
“Dulu di pagi hari sebelum sarapan, Bung Karno dan ayah saya sering berdiskusi di meja ini...ya diskusi tentang arsitektur,” Aryo menunjuk meja panjang. Ayah Aryo satu almamater dengan Soekarno di Technische Hogeschool Bandung. Meja kayu yang dikelilingi kursi itu terletak di mulut koridor antara bangunan utama dan bangunan kedua.
Ada lima kamar dalam rumah utama. Dari deretan kiri, Aryo menunjukkan, “Kamar paling depan biasa digunakan untuk tamu, kamar urutan kedua biasa digunakan oleh Soekarno dan istrinya saat berkunjung ke Blitar.”
Kemudian, dia berjalan sembari menunjuk, “Kamar urutan tiga ditempati Ida Ajoe Njoman Rai ibunda Soekarno dan kamar urutan keempat ditempati Soekarmini dan suaminya. Sedangkan di sisi kanan hanya satu kamar, ditempati oleh Soemodihardjo, dia adalah paman Soekarno”.
Meski masa kecil Soekarno tidak pernah mendiami rumah ini, warga Blitar tetap merasa bangga karena penggalan sejarah pemberontakan PETA , yang meletus 14 Februari 1945 di Blitar itu, seolah mendapat restu dari rumah ini.
Tersebutlah kisah yang mungkin sudah dilupakan masyarakat ketika Soekarno mengunjungi orang tuanya di Blitar. Beberapa perwira PETA termasuk Soeprijadi menyampaikan kepada Soekarno tentang rencana pemberontakan kepada Jepang dan menganalisa untung ruginya. Demikianlah, menurut penuturan Soekarno dalam otobiografinya Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia yang ditulis oleh Cindy Adams.
Kini, kompleks Ndalem Gebang tak hanya menjadi monumen jejak-jejak kehidupan kakak, ibunda, ayahanda, dan kerabat dekat Si Bung di Blitar, namun juga saksi serpihan sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR