Seni tutur hikayat adalah ibu dari semua seni di Aceh. Namun, eksistensinya terancam musnah. Kian jarang seniman menekuni seni tutur hikayat seiring sepinya panggung.
Muda Balia, seniman hikayat klasik Aceh, mengungkapkan, tinggal enam seniman di Aceh yang menguasai seni tutur hikayat dan aktif. Tidak setiap dua bulan mereka manggung. Tahun 1980-an, puluhan seniman aktif di seni ini. "Masyarakat Aceh kini jarang yang menggelar pentas hikayat. Bahkan, banyak yang tak kenal lagi," kata Muda, Kamis (19/9).
Seni hikayat adalah seni tutur memadukan syair, tembang, aksi teatrikal, dan tetabuhan ritmik. Lantunan syair merupakan kekuatan utama seni ini. Isi syair umumnya kisah kepahlawanan, perjuangan, petunjuk kehidupan, sanjungan kepada raja, hingga kisah keseharian. Dalam pentas, seni ini dimainkan di malam hari di acara pernikahan, sunatan, atau kenduri sebagai hiburan rakyat.
"Dalam Pekan Kebudayaan Aceh gelaran pemerintah pun tak diikutkan. Kalah sama band dangdut atau rock," tutur Muda.
Pegiat seni hikayat Aceh lainnya, Agus PM Toh, memlih hijrah ke Jakarta agar eksis. Ia memakai tuturan Bahasa Indonesia dan menggunakan peraga unuik seperti gayung, botol, topi, hingga alat dapur. "Di Jakarta, orang lebih menghargai. Kalau bertahan di Aceh, mungkin saya hilang dan tak dikenal," kata Agus.
Pengamat seni Aceh, Jauhari Samalanga, mengatakan, sebagai seni pentas, hikayat Aceh telah lama tenggelam. Itu terjadi sejak konflik, akhir 1970-an. "Pada zaman konflik, jangankan nonton hiburan, keluar malam saja takut. Pentas hiburan juga diawasi. Susah dapat izin," katanya.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR