Teriknya sinar matahari yang menyorot pesisir Cilacap, siang itu, tak kami hiraukan. Hati adem, terhibur sajian irama musik tektek yang melagukan tembang tradisional hingga dangdut, dari Perahu Layar hingga Keong Racun.
Bila bahasa menunjukkan bangsa, maka musik adalah bahasa yang menyatukan dunia. Setidaknya itulah yang dipercaya oleh Pak Poniman (60), yang telah bertahun-tahun membina Group Iman Ceria, sanggar kebudayaan yang mengembangkan seni tradisional khas Cilacap.
“Ya, walaupun bule-bule nggak mengerti bahasa kita, ya pasti mereka menikmati nada dan iramanya, kan?” kata pria berkumis ini. “Dari situlah apresiasi yang kami butuhkan untuk bisa terus berkarya.”
Kelompok musik ini kerap diundang bermain di berbagai hajatan, seperti khitanan, pernikahan dan sebagainya. Juga, menyambut para tamu dari luar Cilacap, baik keperluan wisata, atau acara resmi pemerintah daerah setempat.
Siang itu, kami menikmati lantunan lagu tradisional Perahu Layar, yang membuka pertunjukkan kelompok musik ini di depan Benteng Pendem, Cilacap, Jawa Tengah. Bukan hanya bebunyian yang diciptakan ketujuh pria musisi itu saja yang menarik perhatian kami, juga penampilan mereka yang mencolok.
Para pria musisi mengenakan seragam beskap biru berpadu kain sarung kotak-kotak berwarna-warni lengkap dengan ikat kepala kain sarung yang sama. Sementara para perempuan penari memadupadankan kebaya brokat tembus pandang berlapis kaus dengan rok mini batik, lengkap dengan penutup kepala.
Satu-satu kesamaan terletak pada bagian kaki: kaus kaki hijau dan alas kaki bertali temali ala gladiator. Seragam mereka tak lain kreasi Ibu Poniman, istri sang pemimpin kelompok musik ini.
Kesepuluh anggota Grup Iman Ceria kompak beraksi di bawah komando Pak Poniman dalam formasi menyerupai huruf U. Seraya mengaba-aba dengan tamborin, pria berkumis yang mengenakan beskap lurik dan blangkon itu turut menggoyangkan badan ikuti irama yang ditabuh ketujuh musisi.
Biasanya ada empat penari yang beraksi. Siang itu, seorang penari berhalangan datang. Meski tidak lengkap, aksi Siti, Tanti, dan Devi tetap menghibur. Ketiganya menari dalam gerak gemulai khas tarian Jawa, melentikkan jemari dan menggerakan anggota badan.
Sesekali mereka bergoyang seperti penyanyi dangdut, mulai dari goyang patah-patah khas Anisa Bahar, juga ngebor ala Inul Daratista. Gerakan “campursari” yang mereka kreasikan sendiri.
Musisi tek-tek juga memberikan nilai lebih terhadap kentongan. Kentongan atau orang lokal menyebutnya thoklik, menjelma menjadi salah satu alat musik dari bambu yang mendapatkan tempat khusus di tanah Jawa.
“Kami sudah biasa melihat pertunjukan musik tektek, karena itu tertarik bergabung,” kata Aji, suami dari Tanti. Sang istri pun menimpali, “Mulanya kami tidak bisa apa-apa, tetapi kami mau ikut bergabung. Kami tertarik, tarian-nya enak!” Kata-katanya membuat yang lain tawa renyah.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR