Brenti jo makang binatang liar! Begitu bunyi spanduk yang dipegang dua siswi berseragam pramuka, siang itu di Kota Bitung, Sulawesi Utara (Sulut). Ada gambar ular, yaki, dan babi rusa pada spanduk berdasar putih. Ini mereka lakukan menyambut Hari Satwa Sedunia, Jumat (4/10).
Victoria Sendy, Unit Informasi dan Edukasi Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST) mengatakan, kampanye ini upaya memperjuangkan kelestarian satwa Sulawesi yang terancam. Salah satunya karena perburuan untuk dikonsumsi. Adapun satwa-satwa endemik Sulawesi yang terancam di Sulawesi antara lain, yaki, babi rusa, anoa, dan burung maleo.
(Simak: Monyet Hitam Diburu dan Dikonsumsi)
Acara yang diusung PPS Tasikoki ini, diikuti juga berbagai organisasi pecinta satwa, antara lain, Selamatkan Yaki, Private Course Class Bitung, The Tuturuga, dan Animal Friends Manado. Tak hanya di Sulut, di berbagai daerah, komunitas peduli dan pecinta satwa andil dalam peringatan Hari Satwa Sedunia.
Seperti di Banda Aceh, Samarinda, dan Yogyakarta. Di beberapa daerah ini, para relawan dari Centre for Orangutan Protection (COP) menyerukan kepada masyarakat agar tak mendukung bisnis pertunjukan orangutan yang umum di kebun binatang di Indonesia. Mereka aksi sambil membawa spanduk, pamflet dengan bermacam seruan seperti, “Orangutan Bukan Mainan.”
(Lihat juga: Tradisi Makan Ular, Mau Sampai Kapan)
Daniek Hendarto, juru kampanye orangutan di Yogyakarta mengatakan, sirkus orangutan dan berfoto bersama orangutan, merupakan cara keliru mendidik para pengunjung kebun binatang. “Orangutan adalah satwa liar. Untuk bisa mengerti perintah tentu melalui pelatihan keras, dan tanpa ampun. Praktik kekejaman ini akan terus berlangsung jika masyarakat membeli tiket pertunjukan.”
Ramadhani, juru kampanye orangutan di Samarinda menambahkan, orangutan tergusur dari habitat karena hutan terbabat, seperti untuk perkebunan sawit. Kini, mereka harus menghabiskan sisa hidup dalam pusaran bisnis satwa liar berkedok konservasi. “Ini harus segera dihentikan.”
Senada dengan Ratno Sugito, juru kampanye orangutan di Banda Aceh. Menurut dia, kebun binatang harus konsisten sebagai lembaga konservasi ex-situ. “Bukan malah mengembangkan diri sebagai tempat hiburan biasa.”
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR