Paris-nya Amerika Selatan.” Itulah ungkapan klise untuk Buenos Aires, “kota kelahiran tango,” yang mungkin pernah Anda dengar. Setelah 30 tahun bermukim, saya berkesimpulan bahwa gambaran dan julukan kota ini telah membuatnya terkungkung. Sisi yang menunjukkan kecintaan pada Prancis hanyalah salah satu aspek perkotaan yang oleh mendiang penulis hebat Argentina Jorge Luis Borges dinyatakan “sekekal air dan udara.”
Para imigran—kebanyakan asal Italia dan Spanyol—memiliki andil menciptakan kota metropolitan berpenduduk sekitar tiga juta portenos (begitulah warga setempat menyebut diri mereka) ini, dengan sepuluh juta lainnya di daerah pinggir kota. Arus pendatang ini membantu terciptanya kota yang masyhur dengan derap kehidupan jalanan penuh gairah.
Saat pertama kali berkunjung ke Buenos Aires pada tahun 1981, saya masih berstatus mahasiswa pasca sarjana yang menginap di rumah calon mertua; kini, Buenos Aires adalah rumah kedua saya. Namun tetap saja kota ini menyajikan sesuatu yang baru setiap kali saya melangkahkan kaki ke luar rumah. Pada penduduk lama Buenos Aires-lah saya menggantungkan keberhasilan upaya pencarian intisari kota ini. Saya memulainya dari makanan.
KULINER
Pagi sudah hampir usai ketika saya dan Dan Perlman menginjakkan kaki di pasar menyerupai gudang Mercado del Progreso yang terletak di kawasan ramai Caballito. Kami menyaksikan bahan mentah masakan asli Argentina, perpaduan tradisi masak Eropa yang kaya, menyajikan seluruhnya mulai dari pizza hingga sosis dan empanada (semacam kue). “Pasar ini adalah koperasi petani dan produsen, dan telah berdiri sejak 120 tahun lalu,” Perlman memberitahu saya. “Di sinilah penduduk setempat berbelanja dan pemilik restoran berbisnis dengan petani.”
Perlman, pria ceria asal Wisconsin yang menuntut ilmu di sebuah sekolah masak di New York, mengetahui bisnis ini secara pasti. Ia sendiri memiliki restoran Casa SaltShaker, tidak jauh dari apartemennya di lingkungan elit Recoleta. Pria yang piawai meramu minuman anggur ini mengambil studi makanan sesuai passion-nya. Pada blog-nya “SaltShaker,” ia menuliskan panduan tepat menikmati kuliner Argentina.
Di sini bintangnya adalah para penjual daging yang dengan cekatan memangkas bife de chorizo (daging porterhouse tanpa tulang) dan mengambil daging punggung untuk dijadikan matambre—daging steik yang digulung membungkus sayuran. Saya melihat penjual daging lainnya melengkapi dagangannya dengan daging bebek, ayam, dan kalkun.
La Cupertina, kedai makan bernuansa rumahan di Palermo, terbaik di Buenos Aires. “Di kalangan para pencinta kuliner, kedai ini dikenal sebagai penyaji empanadas terlezat,” ujar Perlman saat kami duduk di meja kecil di seberang dapur. “Di sini, porsi makanan cenderung lebih kecil yang memungkinkan Anda untuk mencoba beragam rasa yang tersedia. Keistimewaannya adalah kulit pastry yang renyah.” Kami mencoba empanadas beragam isi: daging cincang, krim jagung, keju dan bawang Bombay, bahkan lobak dengan kulit pastri bersalut gula tipis. “Menyenangkan jika datang saat empanada-empanada ini dibuat,” kata Perlman, “untuk menyaksikan alur prosesnya.”
Berbagi makanan membuat kami masih punya ruang untuk menampung kelezatan es krim Heladeria Cadore, kedai yang sudah beroperasi sejak tahun 1957 dan dinamakan sesuai desa di Italia tempat pendirinya berasal. “Mereka menyajikan es krim Italia tradisional,” Perlman berkata sambil menikmati semangkuk es krim dengan tiga rasa: cokelat pahit, cokelat dengan campuran minuman Cointreau dan manisan jeruk, serta strudel apel.
Masyarakat Argentina jarang bersantap malam di bawah pukul 9 malam, sementara malam sudah lama menjelang saat kami menumpang taksi ke kawasan Parque Chacabuco untuk menikmati masakan kontemporer di Urondo Bar. “Dapur restoran ini memperkaya kuliner klasik Argentina dengan sentuhan bumbu dan rempah dari penjuru dunia—tanpa menanggalkan kekhasan rasa yang membuatnya disukai,” jelas Perlman.
Dari dapurnya yang terbuka, kami menyantap hidangan selama tiga jam—bukan hal yang aneh di sini—dimulai dengan makanan pembuka hasil improvisasi koki Javier Urondo. “Inilah kuliner hasil eksperimennya,” ujar Perlman. “Inilah salah satu daya tarik restoran ini.” Daftar minuman anggur yang disajikan antara lain anggur Argentina yang jarang ditemui Finca El Reposo Saint Jeannet 2007, anggur putih Mendoza bermineral yang menemani santapan hidangan pembuka. Hidangan utama saya, matambre de cerdo, daging panggul babi dengan adas, kacang polong, dan kentang, menggambarkan menu makanan sesuai musim. Perlman melewatkan hidangan daging untuk calamares confitados (cumi rebus). Anggur Monte Cinco Reserva Malbec 2004 menjadi pasangan yang sempurna untuk kedua hidangan ini.
BELANJA
Di masa sulit maupun senang, portenos tak ragu membelanjakan uang untuk tampil modis—dan mereka tak keberatan membayar mahal. Jadi saat Patricia O’Shea membawa saya ke pembuat pakaian pria, Hermanos Estebecorena—baju-baju dan jaket-jaketnya digantung dengan harga yang tertulis pada bilah papan—saya merasa lebih nyaman.
Penulis | : | |
Editor | : | Oik Yusuf |
KOMENTAR