"Masuknya teknologi Jepang itu tidak langsung, tapi lewan Filipina," lanjutnya menjelaskan penyebaran alat tangkap saat itu.
Sayang, praktek seke makin ke sini makin berkurang. Di Makalehi, praktek ini berkhir akibat daerahnya rusak dihantam badai barat pada 2010. Tetapi di Pulai Kahakitang, hampir tiap tempat di sana ditemukan aktivitas seke.
"Kekhawatiran saya ialah bahwa tradisi ini diambang kepunahan. Sampai saya berani memberi judul Seke-Maneke Tradisi Bahari di Ambang Kepunahan. Tak hanya punahnya, tapi nilai bahari di penduduk Nusa Utara tampaknya mulai melemah. Nah, ini yang mengkhawatirkan, apakah ada hubungannya dengan arena memancing atau ketersediaan?" ucap Alex.
Baca Juga: Muntahan Paus Membuat Kelompok Nelayan Ini Terlepas dari Kemiskinan
Pengaruh Jepang bagi masyarakat Sangihe dan Talaud bermula sejak perusahaan-perusahaan mereka didirikan disana. Pertama pada 1926 di Si Amil, 1927 di Manado, 1931 di Ambon, 1933 di Davao, 1937 di Zamboanga, dan 1940-1942 di Aertembaga (Bitung). "Ini bukan perusahaan yang sama," kata Alex.
Para nelayan yang bekerja di perusahaan Jepang, tidak hanya lelaki, tetapi juga termasuk istri-istri mereka yang ikut bekerja.
Mereka bekerja untuk menangkap ikan yang sudah distandarisasi. Pemasarannya melalui perusahaan Jepang dan bebas. Para nelayan lepas juga bisa menjual hasil tangkapannya ke perusahaan itu, biasanya mereka menggunakan katsuobushi (makanan awetan berbahan ikan cakalang) dan ikan kayu sebagai alat tukar dengan beras, umbi jalar, dan taro.
Sumber tertua dari Belanda pada 1600-an menyebutkan bahwa saat itu sudah ada praktek penangkapan ikan. Akan tetapi, tidak secara spesifik berbicara soal seke.
Baca Juga: Tradisi Memancing Dengan Jaring Nelayan Tanjung Binga, Belitung.
Source | : | Japan-Indonesia Maritime Network in Southeast Asia Webinar S |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR