Nationalgeographic.co.id—Alex John Ulaen mengumpulkan ingatan kolektif dari para nelayan di Sangihe dan Talaud untuk mengungkap teknik penangkapan ikan di sana yang bersumber dari orang-orang Jepang.
Ada beberapa teknik penagkapan ikan di kedua tempat tersebut, menurut Alex yang juga seorang peneliti dari Maritime and Indigenous Culture Research Center Manado, yakni secara kolektif (maneke & mane'e) dan dengan instrumen/alat yang digunakan bernama seke.
Kepulauan Sangihe dan Talaud merupakan simpang aktivitas maritim. Ia diapit oleh tiga lautan dan satu samudra. Pada dokumen kesejarahan, kawasan ini merupakan lintasan niaga, tutur Alex.
"Secara garis besar nelayan Sangihe & Talaud membedayakan laut menjadi tiga perkara. Laude (laut lepas), kawasan umum, dan kawasan privat (hak ulayat) laut," ucap Alex di acara bertajuk Japan-Indonesia Maritime Network in Southeast Asia Webinar Series.
Teknik penangkapan ikan juga bergantung pada kawasannya. Hak ulayat, misalnya, ada pedoman-pedoman terkait alat tangkap tradisional atau yang sudah moderen. Catatan sejumlah teknik penangkapan ini mengingatkan kita pada sistem muroami yang dikenalkan oleh nelayan Jepang. Namun, beberapa pendapat menuding bahwa praktik ini merusak karang.
"Tergantung pada lokasinya," tegas Alex kepada National Geographic Indonesia. "Jika di hamparan karang itu ada jenis karang jari, jelas merusak. Sebaliknya, jika muroami dipasang di hamparan pasir dan lamun, jelas tidak. Dan umumnya, lokasi seke itu di hamparan lamun yang mendominasi perairan selatan Sangihe."
Sementara itu, di Pulau Talaud sendiri, ada tiga praktek yang mirip dengan muroami. Yaitu mane'e di Kokoratan, manammi di Miangas, dan maniu' di Karatung.
"Di Pulau Intata, sering dijadikan tempat mane'e setahun sekali dan sudah menjadi agenda wisata walau tak berpenghuni. Sebelum melaksanakan mane'e warga mempersiapkan perlengkapan sederhana dari daun kelapa muda yang disambungkan. Hal itu biasanya dilakukan sehari sebelum mane'e" tutur Alex.
Baca Juga: Para Nelayan yang Menyiasati Arah Angin dengan Internet
Pelaksanaan mane'e bergantung pada purnama bulan Mei, di mana matahari berada di atas pulau. Sehingga memudahkan untuk menangkap ikan. Sementara seke memiliki organisasi yang cukup ketat, ada pimpinan nelayan hingga anak buah. Untuk hasil mane'e siapa saja bisa membawanya Dalam aturan seke, yang berhak adalah janda dan anak yatim.
Pemberian kepada anak yatim dan janda, diperkenalkan oleh ajaran pada abad ke-15, yang disebut Islam Tua. "Tapi sialnya, dia dikategorikan sebagai aliran kepercayaan. Padahal inilah awal mula penyebaran Islam dengan kelisanan," kata Alex.
Alat yang digunakan saat melakukan seke disebut sebagai pandihe. Pandihe adalah alat yang dibuat dari bambu halus dan dirangkai dengan rotan. Ketika dipergunakan, ia menghasilkan bunyi yang cukup aneh. "Ini perlu dipelajari, itu mungkin membingungkan ikan untuk tidak keluar dari kelompoknya," tutur Alex.
Baca Juga: Studi: Manusia Neanderthal Pecinta Seafood dan Nelayan Handal
"Masuknya teknologi Jepang itu tidak langsung, tapi lewan Filipina," lanjutnya menjelaskan penyebaran alat tangkap saat itu.
Sayang, praktek seke makin ke sini makin berkurang. Di Makalehi, praktek ini berkhir akibat daerahnya rusak dihantam badai barat pada 2010. Tetapi di Pulai Kahakitang, hampir tiap tempat di sana ditemukan aktivitas seke.
"Kekhawatiran saya ialah bahwa tradisi ini diambang kepunahan. Sampai saya berani memberi judul Seke-Maneke Tradisi Bahari di Ambang Kepunahan. Tak hanya punahnya, tapi nilai bahari di penduduk Nusa Utara tampaknya mulai melemah. Nah, ini yang mengkhawatirkan, apakah ada hubungannya dengan arena memancing atau ketersediaan?" ucap Alex.
Baca Juga: Muntahan Paus Membuat Kelompok Nelayan Ini Terlepas dari Kemiskinan
Pengaruh Jepang bagi masyarakat Sangihe dan Talaud bermula sejak perusahaan-perusahaan mereka didirikan disana. Pertama pada 1926 di Si Amil, 1927 di Manado, 1931 di Ambon, 1933 di Davao, 1937 di Zamboanga, dan 1940-1942 di Aertembaga (Bitung). "Ini bukan perusahaan yang sama," kata Alex.
Para nelayan yang bekerja di perusahaan Jepang, tidak hanya lelaki, tetapi juga termasuk istri-istri mereka yang ikut bekerja.
Mereka bekerja untuk menangkap ikan yang sudah distandarisasi. Pemasarannya melalui perusahaan Jepang dan bebas. Para nelayan lepas juga bisa menjual hasil tangkapannya ke perusahaan itu, biasanya mereka menggunakan katsuobushi (makanan awetan berbahan ikan cakalang) dan ikan kayu sebagai alat tukar dengan beras, umbi jalar, dan taro.
Sumber tertua dari Belanda pada 1600-an menyebutkan bahwa saat itu sudah ada praktek penangkapan ikan. Akan tetapi, tidak secara spesifik berbicara soal seke.
Baca Juga: Tradisi Memancing Dengan Jaring Nelayan Tanjung Binga, Belitung.
Source | : | Japan-Indonesia Maritime Network in Southeast Asia Webinar S |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR