Arus pengungsi dari Srilangka tetap menyeruak, meski perang saudara antara Pemerintah Srilangka dan Macan Tamil resmi berhenti Mei 2009, sebuah akhir konflik panjang selama 26 tahun. "Kenyataannya masih banyak pelecehan, penculikan, dan pembunuhan warga Tamil tak berdosa,” ujar Jeevan. "Saat ini terjadi perang senyap di Srilangka. Bagi mereka yang telah pergi, jarang ada yang kembali. Kembali ke Srilangka berarti mati.”
Menurut UNHCR lebih dari 273 ribu warga Srilangka mengungsi ke daerah yang lebih aman akhir 2010 (Internaly Displace Person). Dalam waktu bersamaan sebanyak 149 ribu warga Tamil tercatat telah menyebar ke berbagai negara sebagai pengungsi dan pencari suaka.
Keluarga Jeevan kini berstatus pencari suaka. Mereka sudah enam bulan tinggal di sebuah vila di kawasan Cisarua bersama tujuh keluarga berbagai kebangsaan atas fasilitas dari International Organization for Migration (IOM). Sebelumnya, selama tiga bulan berada di Detensi Imigrasi Kalideres, Jakarta Barat.
Seminggu sekali Jeevan mengikuti kursus Bahasa Inggris yang diselenggarakan mitra pelaksana UNHCR. Dia juga menggemari badminton dan fustal di tempat penampungan, meski tak rutin. Sebaliknya, Caarthika, cenderung menutup diri dan menjalani hidup prihatin. "Saya masih saja teringat kejadian di negara kami, banyak orang masih menderita di sana,” kata Caarthika.
Keluarga Jeevan boleh merasa lega untuk sementara waktu. Kamar yang mereka huni seluas setengah lapangan bulu tangkis dengan kamar mandi dalam. Sebuah meja rias, televisi, kompor gas, peralatan memasak, dan laptop bermodem ada di kamar.
”Di sini semua orang merasa aman dan nyaman, tak ada masalah dengan polisi, tak dikejar-kejar militer pemerintah, tak ada bom,” ujar Jeevan di teras kamarnya yang menghadap tebing dengan aliran sungai deras, "Mungkin tinggal sementara di Cisarua adalah keputusan terbaik.”
CATATAN: Demi keselamatan para pencari suaka dan menghormati hak-hak mereka, National Geographic telah menyamarkan nama-nama pengungsi dalam tulisan ini.
* Cuplikan kisah “Mencari Harapan ke Tanah Seberang” dalam National Geographic Indonesia edisi November 2011.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR