Agus Salim dikenal juga sangat disiplin dalam mendidik diri dan keluarganya. Setelah anak pertama lahir, selama sekitar 18 tahun keluarganya hanya makan sayur segar tanpa daging. Padahal, dalam keluarga Minang, makan daging seperti rendang adalah santapan utama.
Ada dua alasan yang mendorongnya melakukan hal tersebut. Pertama, seperti diceritakan anaknya, karena ia menderita ambeien, sehingga oleh dokter dianjurkan banyak makan sayur dan berpantang daging. Namun ada pula sumber lain yang mengatakan, Salim takut karena istrinya adalah saudara sepupunya sendiri, kuatir hal itu menyebabkan anak-anaknya cacat. Sebab itu perlu dilakukan diet kesehatan yang sangat ketat agar putra-putrinya yang dilahirkan juga sehat.
Den Bagus jadi Agus
Agus Salim dilahirkan di Koto Gadang, Bukittinggi, tahun 1884 dan wafat di Jakarta tahun 1954. Ketika dilahirkan, ia bernama Masyudul Haq, nama seorang tokoh dari sebuah buku yang dibaca ayahnya, Sutan Mohammad Salim. Nama adalah doa, kata Nabi, maka dalam pemberian nama itu terkandung harapan agar sang putra kelak menjadi pembela kebenaran.
Ketika Masyudul kecil, ia diasuh oleh seorang pembantu asal Jawa yang memanggil anak majikannya "den bagus" yang kemudian dipendek jadi "gus". Kemudian teman sekolah dan guru-gurunya pun ikut memanggilnya "Agus". Sumber lain menyebut, nama "August" ditambahkan oleh gurunya sewaktu sekolah dasar.
Ketika berusia 6 tahun, ayahnya menjadi Jaksa Kepala untuk daerah Riau dan sekitarnya. Agus diterima di Sekolah Dasar Belanda Europeese Lager School (ELS). Kepala sekolah senang akan kecerdasannya dan menawari untuk tinggal di rumahnya. Sang ayah setuju, dengan syarat anaknya setiap hari tetap pulang dan tidur di rumah. Jadi, saat makan pagi, siang, dan malam, Agus Salim berada di rumah Kepala Sekolah. Itulah sebabnya ia sangat fasih berbahasa Belanda.
Setelah lulus dari ELS ia dikirim ke Batavia untuk belajar di Hogere Burger School (HBS). Ia lulus dengan angka tertinggi tidak saja di sekolahnya, tetapi juga untuk HBS lain (Bandung dan Surabaya). Namanya menjadi terkenal di seantero Hindia Belanda di kalangan kaum kolonial dan terpelajar.
Pada 1905, Snouck Hurgronye mengusulkan kepada pemerintah Belanda, eksperimen penempatan tenaga pribumi pada perwakilan Belanda di luar negeri. Agus mendapat tawaran bekerja di Konsulat Belanda di Jeddah sebagai penerjemah dan mengurus urusan haji. Di kota ini ia memperoleh kesempatan untuk memperdalam Agama Islam.
Sepulang dari Tanah Suci, Salim sempat bekerja di Dinas Pekerjaan Umum. Namun, ia keluar dari birokrasi Belanda dan mendirikan sekolah swasta di kampungnya di Koto Gadang. Hanya sebentar, ia kemudian berangkat lagi ke Jakarta dan terjun ke dunia politik melalui Syarikat Islam (SI).
Kritis tapi tetap cerdas
Semasa penjajahan, ia tidak pernah ditangkap oleh Belanda. Baru setelah Indonesia merdeka ia beberapa kali diasingkan bersama dengan pemimpin nasional lainnya. Mengapa Belanda tidak menangkapnya? Salah satu kemungkinan, lantaran gaya bahasa Agus Salim yang kritis dan tajam tetapi disampaikan secara halus dan cerdas. Ia beberapa kali menjadi pengelola surat kabar dan sangat produktif menulis, baik tajuk rencana maupun artikel lainnya. Di Harian Neraca, 25 September 1917, ia menulis "dalam negeri kita, janganlah kita yang menumpang".
Setelah Indonesia merdeka, ia beberapa kali menduduki posisi Menteri Muda, kemudian Menteri Luar Negeri. Pengakuan negara-negara Arab atas kemerdekaan Indonesia tahun 1947 dapat dianggap sebagai jasa Agus Salim bersama beberapa tokoh nasional lainnya. Sebelumnya, sempat selama tiga bulan mereka mengembara di Timur Tengah dengan kondisi keuangan yang sangat terbatas sebagai utusan negara yang baru merdeka.
Selain penghargaan terhadap demokrasi, Agus Salim juga sangat memperhatikan bidang hukum. Di harian Fadjar Asia, 29 November 1927 ia menulis tentang polisi dan rakyat: "sikap polisi terhadap rakyat, istimewa keganasan dan kebuasan polisi dalam memeriksa orang yang kena dakwa atau yang hanya kena sangka-sangka rupanya belum berubah-ubah. Hampir tiap hari ada pesakitan di depan landraad yang mencabut "pengakuan" di depan polisi yang lahir bukan karena betul kejadian melainkan hanya karena kekerasan siksa."
Bagi saya, kekaguman terhadap tokoh tidak identik dengan kultus individu, karena setiap orang pasti memiliki kelemahan. Di dalam tulisan Michael F. Laffan, "Between Batavia and Mecca, Images of Agoes Salim from the Leiden University Library, Archipel No. 65", Tahun 2003 terdapat foto Agus Salim dan keluarga semasa ia bertugas di Jeddah, "Salim had married locally in order to be nursed when sick". Saya tanyakan kepada salah seorang putri Agus Salim, tiga tahun silam, yang mengakui bahwa memang benar Agus Salim pernah menikah ketika berada di Jeddah.
Kehebatan seorang tokoh justru terlihat, ketika di balik kehebatannya, ia tetap tampil sebagai manusia.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR