*Catatan Feri Latief, saat ikut operasi penyelamatan orangutan di Kalimantan Barat bulan Mei 2009
Harian KOMPAS, Rabu, 20 Mei 2009 pernah memberitakan bahwa Direktur Eksekutif Save Our Borneo (SOB), Nordin, prihatin akan semakin terdesaknya keberadaan orangutan karena konversi hutan. Pemberian HPH, pembalakan liar sampai pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit membuat kerusakan hutan semakin hebat dan orangutan yang berada di dalamnya pun ikut terancam keberadaannya.
Lebih parahnya lagi nya ijin pembukaan hutan diberikan pada hutan-hutan yang memang tempat
populasi orangutan. Entah bagaimana ijin itu bisa keluar, entah bagaimana hutan tempat populasi orangutan bisa dikonversi menjadi lahan kebun sawit?
Penulis bisa mengerti keprihatan Nordin karena penulis pernah ambil bagian dalam tim rescue orangutan akibat pembukaan hutan untuk lahan perkebunan sawit di hutan Kecamatan Simpang Hilir, kabupaten Kayung Utara, Kalimantan Barat.
Tanggal 14 - 18 Mei 2009, penulis bergabung dengan tim rescue orangutan sebagai foto dokumenter. Anggota tim terdiri dari berbagai lembaga seperti Centre for Orangutan Protection (COP), International Animal Rescue (IAR), Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Ketapang, dan Taman Nasional Gunung Palung (TNGP).
Tim rescue ini dibentuk setelah adanya laporan dari manager perkebunan ke BKSDA Ketapang bahwa ditemukannya beberapa bayi orangutan karena pembukaan hutan. Hutan seluas 30.000 hektare telah diijinkan untuk dibuka untuk kebun sawit. Menurut manajer perkebunan, rencananya 18.000 hektare akan digunakan sebagai lahan kebun sawit. Sedangkan sisanya 12.000 hektare dijadikan buffer zone (zona penyangga).
Zona ini selebar 100 - 200 meter sepanjang tepi sungai yang berada dalam kawasan hutan yang dibuka itu. Gunanya salah satunya untuk satwa-satwa liar yang tergusur habitatnya karena pembukaan hutan tersebut. Manajer perkebunan melaporkan hal itu sebagai bentuk tanggung jawab
perusahaan akan konservasi alam di kawasan tersebut. Karena perusahaannya,menurut Kepala Daerah Operasi BKSDA, mempunyai track record yang baik dalam konservasi alam.
Bayi-bayi orangutan yang dilaporkan itu berada di tangan para buruh penebang pohon. Bayi-bayi dirampas paksa dari induknya yang terjatuh dari pohon yang tumbang ditebang. Sore hari tanggal 14 Mei 2009, tim rescue tiba di lokasi perkebunan dan mendapat informasi tambahan bahwa ada tiga bayi orangutan, dua di antaranya berada di tangan buruh penebang hutan di kampnya di tengah hutan.
Satu lagi berada atas pohon di depan barak tempat kami dan staf kebun sawit tinggal. Bayi orangutan itu melarikan diri dari sangkarnya yang dibuat karyawan kebun sawit.
Satu bayi orangutan dipelihara penduduk desa Mata-mata setelah juga direnggut paksa dari induknya. Malam hari itu juga tim bergerak menuju perkemahan buruh penebang hutan untuk menjemput dua bayi orangutan.
Setelah berperahu motor cepat selama setengah jam, dilanjutkan jalan kaki dua kilometer lebih sampailah tim di perkemahan buruh penebang pohon. Tanpa banyak basi-basi tim segera meminta dua bayi orangutan yang mereka pelihara. Yang kami dapat hanya satu bayi orangutan berumur sekitar satu tahun berkelamin jantan yang kemudian kami beri nama Lutfi (sama dengan nama ketua tim rescue).
Sedangkan bayi yang satunya lagi melarikan diri siang tadi dan masuk ke dalam hutan. Orangutan itu melarikan diri sewaktu tali pengekang yang membuat luka di lingkaran pinggangnya dilepas oleh para buruh. Tim kembali ke barak penginapan kami hanya dengan membawa satu bayi orangutan yang kondisinya tidak sehat, kurus, dan lemah.
Bayi tersebut telah dipelihara selama tiga minggu. Makanan yang diberikan adalah mie instan, nasi putih, dan kopi. Dokter hewan, Karmele Llano Sanchez , tim rescue dari IAR, mengindikasikan bahwa bayi orangutan itu terkena anemia dan mengalami malnutrisi, dehidrasi, dan terluka di lipatan paha karena kekangan tali saat dipelihara. Keesokannya tim melanjutkan untuk menyelamatkan bayi orangutan yang melarikan diri ke atas pohon.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR