Dalam siaran pers disebutkan, “Kota Yogyakarta juga telah mencanangkan diri sebagai kota ramah anak pada 6 Juli 2013. Namun, justru, kini iklim yang bisa mendukung kegiatan belajar dan bermain anak-anak Yogyakarta justru semakin hilang. Kehidupan kota Yogyakarta berubah semakin komersial dan individual.”
“Ruang-ruang kota yang seharusnya menjadi tempat untuk belajar dan bermain kian tergusur oleh pragmatisme bisnis kapitalis. Kampung-kampung kota yang menjadi unsur utama pembentuk Kota Yogyakarta makin tergusur oleh perubahan fungsi lahan. Kampung sebagai tempat bermukim terdesak oleh dampak pembangunan yang makin tak terkendali.”
“Kampung yang seharusnya menjadi halaman depan kehidupan warga kota justru berubah menjadi halaman belakang yang terlupakan. Wajah kota Yogyakarta bukan lagi tertampilkan sebagai mozaik budaya kampung kota yang beragam, melainkan berubah wajah menjadi deretan gedung raksasa tanpa jiwa. Ruang-ruang yang seharusnya tersedia untuk tumbuh kembang generasi muda kota Yogyakarta yang sehat dan berbudaya semakin hilang,” demikian kutipan siaran pers.
“Dalam happening art hari ini, kami mindah lapangan,” kata Novel, “karena di kampung kami sudah tidak ada lapangan. Waktu saya kecil, masih ada lapangan. Sekarang sudah habis dipakai untuk rumah susun. Kegelisahan teman-teman dari kampung lainnya sama, lapangan mereka dipakai untuk bangunan mall, hotel, atau hunian lainnya.”
“Kami tetap yakin dan terus memelihara harapan, jika kami terus bergerak, para pejabat itu akan mendengarkan. Di samping itu, kami juga hendak mengedukasi masyarakat. Jika mereka masih punya lahan kosong, jagalah, lindungilah, pertahankanlah, jangan dijual semua, karena itu sangat berharga untuk kami, untuk adik-adik kami,” sambung Novel.
“Karena lahan bermain sudah habis, biasanya anak-anak di kampung saya cuma main di gang-gang kecil, atau kebanyakan anak milih asyik bermain PlayStation atau game komputer di rumah. Menurut saya itu nggak seru, karena mereka nggak punya pengalaman bermain dan berkumpul di luar,” pungkas Novel.
Hari menyongsong senja. Setelah sekitar satu jam tampil menyedot perhatian publik, para peserta aksi mengikrarkan Janji Bocah Jogja.
Ikrar berbunyi demikian: 1. Kami Bocah Jogja berjanji akan terus bermain meski sudah tidak ada ruang; 2. Kami Bocah Jogja berjanji akan terus ingin tahu kemajuan kota kami; 3. Kami Bocah Jogja berjanji akan terus menjadikan kota kami seru dan asyik; 4. Kami Bocah Jogja berjanji akan terus menjaga kota kami tetap sehat dan nyaman.
Seusai membaca ikrar, rombongan peserta happening art “Bocah Jogja Nagih Janji” dengan tertib membubarkan diri. Mari kita lihat, apakah pesan, semangat, dan kecintaan mereka terhadap Yogyakarta mampu menggugah perhatian dan mendapat tanggapan positif dari yang berwenang. Semoga saja demikian.
Baca juga Bersukacita Memadu Suara, Mencari Pak Walikota dan Suara Bersama Warga Yogyakarta
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR