Suatu pagi Agni Malagina, seorang sinolog dari Universitas Indonesia, melompat ke dalam perahu klotok—sebutan setempat untuk perahu motor. Perahu yang menderum itu membawanya menyusuri kampung nelayan di Dusun Merpati, Muara Kakap, Kalimantan Barat. Demikian Agni mengawali penuturan kisah melancongnya kepada National Geographic Indonesia.
“Fakta menarik, masyarakat Muara Kakap 80 persen adalah keturunan Cina,” ungkapnya. “Mereka adalah keturunan orang Tiociu dan Khek (Hakka). Orang Tiociu berasal dari daerah Guangdong, sedangkan orang Khek berasal dari daerah Fujian.”
Perahu klotok membelah sungai yang diapit permukiman nelayan. Seorang ibu, yang tengah mencuci peralatan rumah tangga dan baju di tepian sungai yang berair cokelat, membalas lambaian tangan Agni. Rumah panggung sang ibu itu terbilang sempit, reyot, dan kumuh. Di belakang deretan rumah itu tertambat sampan-sampan dengan dayungnya.
Semua perahu yang menuju muara, demikian menurut Agni, akan melewati kolong titian kayu nan melengkung. Di tengah titian itu terdapat papan hijau beraksara merah lusuh: “Jembatan Bintang Tujuh”—lengkap dengan aksara Cinanya. Titian tersebut menghubungkan Dusun Merpati dengan Pasar Kakap dan pusat kegiatan pemerintahan.
Setelah perahu melewati kolong jembatan, “Kami berhadapan dengan muara sungai yang dipenuhi jermal-jermal penangkap ikan,” ungkapnya.
Tatkala perahu lepas dari muara menuju Selat Karimata, tampak tiga bubungan atap bangunan kayu di tengah laut. Dinding-dindingnya bercat biru, kontras dengan pelisir merah pada atapnya. Tiang-tiang pancang kayu intan yang menopangnya telah membuat bangunan itu seolah menyembul dari lautan lepas. Warga menyebutnya Klenteng Timbul atau Pekong Laut.
Jiwa sinolog Agni pun bergelora, dia menyelisik simbol-simbol mitologi Cina dalam klenteng itu. “Tiga itu angka penting lambang trinitas—langit, Bumi, dan manusia,” demikian interpretasi Agni soal jumlah bubungan atap dalam bangunan tradisi Cina.
Dua bubungan klenteng itu masing-masing berhias dua naga bercat putih yang mengapit mutiara. “Naga melambangkan elemen Yang simbol kekuatan tertinggi dan keberuntungan,” ungkapnya. “Sedangkan mutiara merupakan simbol kesehatan dan kesejahteraan.”
Sementara, bubungan lainnya menampilkan sosok burung phoenix. Menurutnya, sosok satwa mitologi ini “melambangkan elemen Yin simbol kerendahan hati, kebajikan, kebaikan, dan kesopanan.”
Sejak dibangun pada 1960-an, klenteng ini banyak dikunjungi peziarah atau umat yang hendak bersembahyang pada dewa-dewa Tao. “Biasanya mereka membayar Rp100 ribu untuk transportasi air rute pergi-pulang.”
Muara Kakap berada di Kabupaten Kubu Raya, sekitar 25 kilometer dari Pontianak, Ibu Kota Provinsi Kalimanatan Barat. Muara ini menghadap langsung ke hamparan Laut Cina Selatan nan membiru.
Perahu Agni merapat ke dermaga klenteng. Dia meniti tujuh anak tangga kayu, lalu sampailah ke beranda Klenteng Timbul yang berpagar dan bernuansa merah. Dia menyaksikan dua tiang kayu penyangga atap beranda yang berhias bunga teratai bersusun tujuh dengan warna jambon memudar.
Di beranda klenteng itu tersemat papan nama klenteng beraksara Cina. “孝意神堂—Xiao Yi Shen Tang,” Agni mengejanya. Artinya, Klenteng Darma Bakti.
Terdapat tiga pintu masuk menuju ruangan dalam klenteng. Masing-masing pintu berhiaskan lukisan sosok dua dewa dalam mitologi Cina. “Itu Dewa pintu,” ungkapnya. “Namanya Qin Qiong dan Yuchi Gong, atau Shen Shu dan Yu Lei.”
Dewa utama klenteng ini adalah Guan Yu atau dikenal dengan sebutan Guan Gong atau Kwan Kong (Dewa Perang), demikian ungkap Agni. Sang Dewa dipercaya melindungi kehidupan dan aktivitas umat.
“Tak hanya dipuja oleh orang biasa dengan pelbagai profesi,” ujarnya, “dewa ini konon dipuja juga oleh serikat rahasia—mafia—dan perkumpulan rahasia lainnya.”
“Daerah Sungai Kakap terkenal menjadi tempat permukiman orang Cina yang mengidentifikasikan dirinya dengan sebutan ‘Cin’, ‘Cina’, ‘Cinday’—CinaDayak,” ungkap Agni. “Belakangan saja muncul kata ‘Tionghoa’ yang sering digunakan oleh pejabat dan aparat pemerintah untuk menyebut orang Cina Kakap.”
Sekiranya singgah ke Muara Kakap, cecapi juga santapan khasnya: Pengkang. Makanan ini terbuat dari kerang yang dibumbui, lalu dibungkus daun pisang. Biasanya pengkang dibakar atau dikukus, kemudian disantap bersama nasi dan sambal. “Semacam kerang dengan daging yang besar,” ungkap Agni. “Rasanya gurih.”
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR