Di antara kerumunan manusia pada Ahad sore (27/1013), saya menangkap sosok Marco Kusumawijaya. Ia adalah arsitek, seorang perancang kota, mantan Pimpinan Dewan Kesenian Jakarta. Saat ini ia aktif di Rujak Center for Urban Studies/RCUS, selaku Direktur.
Petang itu, ia tampak menikmati suasana happening art “Bocah Jogja Nagih Janji”, di area plaza Kilometer Nol, di ujung Jalan Malioboro, Yogyakarta. Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian Festival Seni Mencari Haryadi.
Saya lalu memintanya untuk memberi komentar tentang kegiatan ini dan festival seni ini secara umum. “Festival Mencari Haryadi ini menekankan bahwa pada akhirnya agen perubahan yang diharapkan masyarakat adalah pemimpin kotanya, Sang Walikota.”
“Ini justru suatu optimisme, bahwa perubahan itu mungkin, dan bahwa peran subjektif agen itu penting terhadap struktur. Kita tidak putus asa—seolah perubahan tidak mungkin, bahwa struktur telah hegemonik, dan karenanya tidak mungkin diubah.”
“Bagi saya, Festival Seni Mencari Haryadi ini setidaknya menampilkan dua aset penting Kota Yogyakarta, yakni warga-masyarakat yang sangat terorganisasikan (dibandingkan dengan hampir semua kota lain di Indonesia), dan pekerja-pekerja kreatif.”
“Keduanya dihubungkan oleh aset ketiga yang paling penting: kemudahan berekspresi bersama di antara berbagai kelompok warga. Menariknya di Yogya, koalisi ad-hoc yang terbentuk berulang-ulang (ketika diperlukan) selalu sangat beragam dan luas secara horizontal,” sambung Marco.
Beberapa waktu terakhir ini Marco Kusumawijaya memang sering ulang-alik Jakarta-Yogyakarta. Lembaga tempatnya bekerja—RCUS—berkolaborasi dengan KUNCI Cultural Studies Center dan Arkom (Arsitek Komunitas) menjalankan Bumi Pemuda Rahayu/BPR di Dlingo, Bantul, Yogyakarta. BPR adalah lembaga pembelajaran dan pertukaran ilmu pengetahuan, yang terbuka bagi keterlibatan seniman, aktivis kota, arsitek, peneliti, penulis, serta lembaga-lembaga yang fokus pada isu lingkungan.
Petang itu, ia sengaja turun dari pegunungan di area Imogiri untuk melihat keunikan Yogyakarta yang ia paparkan di atas. Ia juga ingin memperkenalkan salah satu dimensi Yogyakarta ini kepada empat seniman mukim/residensi pertama, yang dikelola BPR.
“Dolanan bocah yang ditunjukkan hari ini menyentuh isu yang terjadi juga di semua kota Indonesia: ruang-ruang kota terbelah-belah; dan ruang kehidupan—termasuk ruang bermain anak—makin menyempit. Jadi, ruang sosial berkurang bukan hanya secara kuantitas, tetapi mobilitas untuk mengunjungi ruang-ruang itu sangat terganggu oleh ketiadaan sistem angkutan umum, suburbanisasi, dan tata ruangnya,” ujar Marco menutup perbincangan kami.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR