"Pertanyaan akan asal-usul manusia selalu menjadi debat yang menarik," ujar Herawati Sudoyo, Wakil Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Jakarta.
Herawati menyampaikan hal itu di hadapan peserta yang hadir dalam Seminar "Human Evolution and Archaic Admixture", di Lembaga Eijkman pada Selasa (29/10), untuk menyimak presentasi Richard Edward Green, seorang peneliti asal Department of Biomolecular Engineering, University of California-Santa Cruz mengenai penemuan terkini dan rencana kolaborasi penelitian lanjutan dengan Lembaga Eijkman.
Bersama 56 peneliti lain dari 21 institusi, ia merunut jejak leluhur manusia modern (Homo sapiens) berdasarkan genetika. Benarkah ada keterkaitan antara manusia modern yang hidup pada masa kini dengan manusia prasejarah Homo neanderthalensis?
"Memahami evolusi manusia tak sederhana. Jikalau menilik, melacak balik ke garis keturunan, manusia prasejarah Neandertal merupakan kerabat terdekat kita Homo sapiens," papar Green.
Menurut Green, ada missing link untuk melihat relasi antara simpanse (yang dikatakan kerabat terdekat manusia yang masih eksis hingga sekarang) dengan spesies manusia modern. Ini menjadi sulit diterangkan, sebab tidak sedikit spesies yang sudah punah. "Tapi yang secara luas ahli-ahli sepakati, kerabat terdekat manusia—yang telah mengalami kepunahan— adalah Neandertal," kata asisten profesor yang mendalami bidang populasi dan demografi ini.
Maka DNA dari fosil-fosil Neandertal lebih dekat untuk digunakan membantu mereka mengidentifikasi keunikan-keunikan manusia modern ketimbang dari DNA simpanse.
Selama dua dekade terakhir, metode pengambilan DNA purbakala pun telah berkembang maju. Perkembangan ilmu biologi molekuler di bidang teknologi terapan sekuensing DNA sudah bisa makin memudahkan penelitian. Melalui teknologi mutakhir yang disebut direct high-throughput sequencing, didapat data genomik fosil tulang Neandertal.
Ia mengungkapkan, "Kami menganalisis fosil yang ditemukan di Vindija, Kroasia. Dari total 21 tulang Neandertal, hasilnya ada DNA primata walau dalam presentase kecil 3,5 persen, tetapi sebagian besar sampel DNA memang merupakan mikroorganisme, jelas karena terkubur lama dalam gua."
Bukti kedua yaitu fosil yang ditemukan di gua Denisova, Pegunungan Althai, Siberia. Populasi manusia purba the Denisovan ini pun menunjukkan percampuran antara manusia modern dengan manusia purba Neandertal.
Lebih kontroversial, belulang the Denisovans menunjukkan terdapat bagian DNA yang punya kemiripan dengan DNA yang ditemukan pada populasi manusia di wilayah di sebelah timur garis Wallacea—Filipina, Flores, Maluka, Papua Nugini, Australia dan Oseania.
"Ini mengejutkan. Kecocokan hanya ditemukan pada orang-orang yang berada di timur garis Wallacea. Juga memancing pertanyaan baru soal kaitannya dengan Homo floresiensis, manusia purba yang ditemukan di Liang Bua, Flores." (Baca mengenai si "Hobbit" di tautan ini)
Homo neanderthalensis hidup di Eropa dan sebagian kecil kawasan Asia Barat sebelum lenyap 30.000 tahun silam. Ratusan tahun silam diperkirakan nenek moyang Homo sapiens mulai melakukan migrasi, keluar dari Afrika menuju wilayah Eropa dan Asia, bertemu dan berinteraksi hingga mengalami admixture (percampuran) dengan Neandertal.
(Baca: Apakah Leluhur Manusia Modern Pernah Kawin dengan Neandertal?)
Pertanyaan besar lainnya adalah kapan manusia berpisah dari Neandertal dan bermigrasi. Rentang waktu penyebaran ini diyakini juga menentukan saat untuk kedua kelompok saling bertukar gen. Tersisa pula pertanyaan apa yang sesungguhnya menyebabkan Neandertal punah—dari sekian banyak teori dan gagasan?
Ed juga menelaah, guna analisis lebih lanjut, lewat membandingkan susunan gen dari ras dari manusia modern non-Afrika dan Afrika. Perbandingan antara populasi di Prancis, suku Han, dan Papua di luar Afrika, serta suku Yoruba dan San di Afrika, memperlihatkan kontribusi genetik Neandertal sekitar 2-4 persen dapat ditemukan pada gen manusia sekarang non-Afrika atau, secara spesifik, orang Eurasia.
"Selain itu juga, bukti percampuran manusia purba disinyalir pada populasi pigmi di Afrika. Berbagai temuan ini menggambarkan betapa kompleksnya evolusi manusia modern, yang melibatkan sejumlah kejadian percampuran dengan manusia purba," ujar Ed.
Tentunya belum berakhir perjalanan melacak jejak moyang manusia modern. Lantas berapa banyak lagi kepingan yang masih belum terkumpul? Peneliti takkan berhenti melacak dan tidak putus-putusnya mencari bukti penguat.
Ed sendiri mengatakan, ia akan melakukan investigasi lebih mendalam tentang apa yang membuat manusia modern unik. "Karena saya berpikir; pada suatu waktu di masa lalu, kita pernah berbagi Bumi dengan spesies hominin lain, yang mungkin berasal dari leluhur yang sama. Bagaimanakah kita saling berinteraksi?"
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR