Laksana ular raksasa yang meliuk mesra di pinggiran kota, Kanal Banjir Timur (KBT) membentang dari Cipinang Besar ke arah timur. Kemudian kanal itu mulai berbelok ke arah utara setelah Malakasari. Dari kawasan Jakarta Timur aliran kanal ini meretasi Jakarta Utara menuju Marunda, lalu bermuara ke Teluk Jakarta. Panjangnya 23,5 kilometer. Sekitar separuh panjang kanal ini nyaris bersinggungan dengan batas antara DKI Jakarta dan Jawa Barat.
Kanal ini memotong dan menampung air dari lima sungai lalu mengalirkannya ke laut, juga mengelola aliran keluar lewat empat sungai. Lima sungai yang berpotensi meluap saat hujan besar—juga meluapkan sampah—adalah Cipinang, Sunter, Buaran, Jatikramat, dan Cakung. Harapannya, risiko banjir sebagian Jakarta Timur dan Jakarta Utara dapat dikurangi.
“Tujuan utama Kanal Banjir Timur sebagai pengendali banjir sudah tercapai,” kata Parno optimis ketika saya menanyakan tingkat keberhasilan kanal raksasa itu. Parno pernah berkedudukan sebagai Pejabat Pembuat Komitmen Kanal Banjir Timur, sekaligus pimpinan proyek pembangunan kanal raksasa itu. Kami berbincang di ruang kerjanya di Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (BBWS-CC), sebuah badan di bawah Kementerian Pekerjaan Umum (PU).
“Bukan berarti banjir itu hilang seratus persen,” ungkap Parno yang selalu berbicara pelan dan hati-hati. “Masih ada banjir lokal—bukan luapan dari Sungai Cipinang, Sunter, Buaran, dan Jatikramat.”
Menurutnya, di kawasan yang dilindungi KBT yang seluas seperempat wilayah DKI Jakarta itu terdapat daerah-daerah dengan topografi rendah sehingga air mudah tergenang. Parno mengingatkan kembali tentang tujuan utama dibangunnya kanal raksasa itu: mengendalikan debit aliran lima sungai yang berisiko meluap dan membanjiri sebagian kawasan Jakarta Timur dan Jakarta Utara. “KBT itu seperti obat migrain: Penghilang sakit sebelah saja.”
Dia mengatakan penyebab beberapa kawasan yang masih tergenang banjir, selain topografinya yang berbentuk cekungan, juga disebabkan oleh buruknya drainase atau saluran pembuangan air setempat, matinya pompa-pompa banjir, dan tingginya curah hujan setempat. “Kalau sudah seperti itu bukan saja wewenang Kementerian PU dan BBWS,” ujar Parno, “tetapi Dinas Pekerjaan Umum (DPU) DKI Jakarta juga.”
Parno juga mengusulkan adanya peraturan tegas soal buang sampah. “Kalau tidak ada sanksi hukum dan hanya diminta untuk sadar itu susah,” ujarnya. “Tidak ada orang yang sadar di Jakarta.”
Kemudian, saya menjumpai Firdaus Ali pendiri dan pimpinan Indonesia Water Institute di Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Dia, yang juga seorang staf pengajar Fakultas Teknik Universitas Indonesia, dikenal kritis soal kebijakan publik lewat kajian-kajian ilmiahnya. Kami berbincang soal manfaat kanal raksasa itu bagi warga Jakarta.
“Sebesar 30% beban banjir itu teratasi,” ujar Firdaus Ali. “Itu jelas karena Kanal Banjir Timur. Kita harus akui itu.”
Kecenderungan banjir di Jakarta akan semakin parah seiring berjalannya waktu. Fakta banjir dalam satu dekade ini menunjukkan hal demikian. Menurut Firdaus, persoalan itu karena faktor perubahan pola penggunaan lahan seiring meningkatnya jumlah orang yang menghuni Jakarta. “Akibatnya lebih banyak air yang terlimpas dibandingkan yang diserap.”
“Memang orang akan mengatakan banjir 2013 lebih buruk dari 2007,” ungkapnya. “Namun kejadian itu bisa jauh lebih buruk sebetulnya—jika tidak ada KBT”. Ini yang tidak terkomunikasikan ke publik.” Keadaan tersebut sebenarnya terbantu dengan pola curah hujan di lima daerah aliran sungai tidak mengalami kondisi ekstrem, demikian hemat Firdaus.
Perihal rencana pembangunan untuk membuat sodetan dari Ciliwung menuju Kanal Banjir Timur, Firdaus menyarankan sebaiknya semua pihak mengamati perkembangan kemampuan KBT. “Bagi saya itu tunggu dulu. Jangan senang dulu, karena KBT belum mengalami puncak ekstremnya.”
“Katanya pemerintah berhasil menurunkan tingkat genangan, kok genangan makin lama-makin banyak?” kata Firdaus. “Kenapa pemerintah tidak mau bercerita tentang genangan baru yang muncul?
Munculnya genangan baru, berdasarkan kajiannya tentang Jakarta, merupakan fenomena turunnya permukaan tanah akibat krisis permintaan air baku—gedung-gedung perkantoran berlomba-lomba menyedot air tanah dalam. Dampaknya bisa seserius bencana besar: Saluran air dan pipa-pipa utiliti patah, hingga miringnya gedung-gedung bertingkat di Jakarta.
“Untuk kota besar di atas lima juta jiwa,” ujar Firdaus, “Jakarta paling buruk di dunia soal kondisi tata kelola airnya.”
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR