Pidato Kebudayaan 2013 sukses digelar pekan lalu, Senin (11/11) di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Cikini-Jakarta Pusat.
Setiap tahunnya, tradisi yang berlanjut sejak diselenggarakan pada 1989 sebagai bagian dari perayaan ulang tahun Taman Ismail Marzuki ini mengundang tokoh nasional untuk berbicara.
Mereka menguraikan gagasan berperspektif budaya dalam mengupas persoalan aktual—mulai dari soal kemanusiaan sampai hukum—di negeri ini. Dan praktis selama lebih dari dua dekade, Pidato Kebudayaan telah melantunkan, terkadang meneriakkan, pemikiran-pemikiran yang dikatakan sebagai "suara jernih dari Cikini".
Sejumlah nama besar, seperti Umar Kayam, Amien Rais, Hidayat Nur Wahid, pernah mengisi pidato budaya. Pada beberapa tahun terakhir, pidato budaya disampaikan Mahfud MD (2012), Busyro Muqqodas (2011), dan Rocky Gerung (2010).
Meneruskan tradisi, Pidato Budaya 2013 menghadirkan Karlina Supelli. Salah satu filsuf perempuan Indonesia yang kini menjadi pengajar di Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara tersebut mengajak untuk mencerna kembali budaya dari segi filosofi bangsa, dituangkan melalui pidato yang berjudul besar "Kebudayaan dan Kegagapan Kita".
Ketua Umum Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Irawan Karseno mengatakan, untuk tahun ini Pidato Kebudayaan sengaja mengundang Karlina Supelli sebagai pembicara, agar menukik pada permasalahan-permasalahan filosofis bangsa kita. Karlina ahli di bidang fisika, metafisika, kajian filsafat dan humaniora. Penelitiannya yang meliputi antara lain Filsafat Ilmu, Kosmologi, Sains dan Rasionalitas, serta Feminisme dalam Filsafat sudah diterbitkan dalam pelbagai jurnal, buku dan majalah.
Gubernur Provinsi DKI Jakarta Joko Widodo di dalam sambutannya mengungkapkan, "Saya bersetuju dengan beliau [Karlina Supelli] bahwa kebudayaan bukan hanya mencakup hal-hal yang monumental, bukan melulu tentang Borobudur ataupun pencapaian puncak, tetapi juga menyangkut hal-hal keseharian. Seperti cara kita mengisi kehidupan dari hal yang paling sederhana. Kebudayaan, adalah juga bagaimana kita memperlakukan diri sendiri, orang lain, dan masyarakat secara keseluruhan."
Pola konsumeris
Salah satu kegelisahan yang diketengahkan Karlina Supelli adalah gejala konsumerisme di masyarakat Indonesia. Ia menyoroti kegemaran masyarakat Indonesia berbelanja.
Data terbaru, ungkap Karlina, menyatakan indeks kepercayaan diri konsumen Indonesia tertinggi di antara 58 negara Asia Pasifik, Amerika Utara, Amerika Latin, Timur Tengah. "Lagi pula konsumen Indonesia juga mudah terpengaruh iklan. Barangkali kita kurang jeli," ucapnya.
Karlina mengatakan, konsumerisme adalah proses-proses kebudayaan yang menjadi ideologi tata dunia baru alias globalisasi. Hal itu dirancang untuk memungkinkan mesin industri gaya hidup berputar terus.
"Tentu saja, tanpa pasar tidak ada kesejahteraan seniman dan para pekerja budaya. Masalahnya bukan ada atau tidak ada pasar. Sejak dulu kala pasar sudah ada," paparnya, "Persoalannya adalah bagaimana nalar ekonomi mengendalikan, mengatur, dan mengarahkan berbagai bidang: pendidikan, politik, kebudayaan, dan sebagainya— semata-mata berdasarkan prinsip dan kinerja pasar."
Di bagian akhir ia pun menyimpulkan 8 rumusan yang disebutnya Siasat Kebudayaan.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR