Dinaungi Gunung Sibayak, dataran tinggi mengisi 45 persen ruang Deliserdang, memayungi daratan di bawahnya.
Dari kaki Bukit Barisan, anak-anak sungai mengalir membentuk lima daerah aliran sungai (DAS): Belawan, Deli, Belumai, Percut, dan Ular. Kelima DAS ini menciptakan cawan penangkap air seluas lebih 378 ribu hektare. Sungai-sungai tumpah di Selat Malaka, yang bersama Langkat, membatasi tepi utara Deli Serdang.
Hulu sungai terletak di Simalungun dan Karo, yang sekaligus memagari Deliserdang dari selatan. Di tepi barat, Langkat dan Karo, serta Serdang Begadai di timur, mengapit kabupaten ini.
Alam nan gemah ripah loh jinawi membuat Deliserdang bergelimang hasil pertanian. Pertanian menjadi salah satu penyokong kegiatan perekonomian Deliserdang. Wilayah ini memiliki tanah subur dengan ekosistem hulu di dataran tinggi yang menjadi sumber air. Ditambah ketekunan bercocok tanam warga, menciptakan sebidang lahan sarat hasil pertanian sepanjang musim.
Seawal paruh kedua abad ke-19, di kawasan ini mulai berkembang perkebunan tembakau.
Pada 1863, Jacob Nienhuys membuka kebun tembakau di wilayah yang saat itu dikenal sebagai Karesidenan Pesisir Timur Sumatera. Daerah yang meliputi Kesultanan Deli, Serdang, dan Langkat ini dipandang cocok buat menghasilkan tembakau berkualitas kampiun. Dua tahun berselang, tembakau deli diakui bermutu tinggi di Amsterdam.
Reputasi tembakau deli melejitkan Medan sebagai pusat ekonomi baru yang terus berkembang, modern dan mendunia. Kini, satu setengah abad berselang, aroma tembakau yang mengharumkan Deli Serdang itu memudar. Sisa-sisa kejayaannya masih bisa kita lihat di Hamparan Perak: bangsal-bangsal pengeringan dan pengeraman tembakau deli.
Siang itu, sinar matahari memanggang ladang tembakau PT Perkebunan Nusantara II di Kelambir Lima, Hamparan Perak. Margono menepi dan berteduh di bawah gubuk yang ringkih. Pensiunan mandor ini masih setia ketika perusahaan meminta tenaganya untuk membantu mengelola ladang tembakau. Barisan tembakau berumur satu bulan lunglai diterpa sengatan mentari.
“Nanti sore, alat penyemprot akan menyirami tembakau,” jelasnya. Di ladang seluas 32 hektare itu, seusai ditanami tembakau, tanah digilir dengan tanaman tebu. “Tanah jadi panas, tidak ada pupuk alaminya,” terang Margono.
Di masa lalu, usai masa produktif tembakau berakhir, tanah diberi masa bera yang ditumbuhi tanaman liar. Tanah jadi adem. Air yang menyirami tembakau, menurutnya juga berbeda dengan air dari langit. ”Air hujan mengandung mineral yang bermanfaat bagi tembakau.”
Kisah ini pernah disajikan dalam sisipan National Geographic Indonesia, "Deliserdang: Penyandang Gerbang Barat Tanah Air".
Membedah Target Ambisius Mozambik Memaksimalkan Potensi 'Blue Carbon' Pesisirnya
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR