Selain penyantap segala hasil sungai, masyarakat Dayak dan Banjar juga dikenal sebagai peladang yang piawai menanam berpuluh jenis padi ladang. Peladangan berpindah kerap menjauhkan orang Dayak dan Banjar dari sungainya, siklus hidup yang membuat mereka menguasai teknologi pengawetan ikan. Yang paling khas dan bercita rasa kuat adalah wadi, pengawetan ikan dengan proses fermentasi.
Jemari Nanang Akhmad (34) cekatan memasukkan potongan ikan gurami ke dalam stoples plastik di sebuah kios Pasar Kahayan, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, akhir Oktober lalu. Potongan ikan yang hendak diolah menjadi wadi atau ikan terfermentasi tersebut sudah menjalani rangkaian pengolahan selama dua hari dua malam sebelumnya.
Awalnya, ikan yang sudah dipotong-potong seukuran separuh telapak tangan orang dewasa itu ditaburi garam selama sehari semalam. Keesokan paginya, potongan ikan tersebut dicuci untuk menghilangkan garam. Selanjutnya, potongan ikan itu direndam larutan gula aren sehari semalam. Keesokan harinya, potongan ikan ditiriskan dan ditaburi irisan bawang putih agar beraroma harum.
Potongan ikan tersebut yang siang itu dimasukkan Nanang ke dalam stoples. Nanang pun kemudian menaburkan butiran beras berwarna coklat kekuningan ke potongan ikan. Butiran beras itu pun sebelumnya juga menjalani serangkaian proses. Diawali pencucian, penirisan selama semalam, disangrai hingga coklat kekuningan, hingga beras tersebut digiling kasar.
Sekitar seminggu kemudian, potongan ikan yang sudah ditaburi beras menjadi wadi. Ikan terfermentasi yang menyengat baunya, tetapi lezat rasanya. ”Satu kilogram ikan mentah kalau dijual Rp70.000. Kalau sudah jadi wadi, harganya bisa Rp90.000 per kilogram,” kata Nanang, yang sehari-hari menjual ikan segar maupun wadi olahan sendiri tersebut.
Pemrosesan wadi yang sejak lama telah dikenal turun-temurun oleh warga Dayak dan Banjar di Kalimantan ini mampu memperpanjang lama simpan ikan tangkapan. Ikan jelawat, papuyu, baung, gabus, gurami, dan jenis-jenis lainnya yang sudah jadi wadi tahan disimpan hingga berbulan-bulan. Inilah sumber kelezatan salah satu menu yang kami cicipi di rumah makan Palangka, ikan wadi dengan rasa asam yang unik, dan membuat kami tak henti menyantapnya.
Ketika mencium bau busuk menyengat dari ikan yang diolah menjadi wadi, kami tertawa-tawa dan merasa beruntung sudah mencicipi rasanya berbahan wadi. Kalaulah kami mengenal bau wadi sebelum menyantapnya, bisa jadi kami tak akan pernah memakannya. Padahal, kalau ingin menemukan cita rasa bersantap ikan yang sama sekali berbeda, justru olahan fermentasi wadi pilihan terbaiknya.
Cadangan pangan
Antropolog Marko Mahin menuturkan, pengolahan ikan baik diasinkan atau difermentasi menjadi wadi–merupakan bagian strategi warga Dayak mengatur pola makan. Wadi menjadi cadangan makanan saat warga sedang disibukkan dengan kegiatan berladang atau memanen padi.
Ketika sedang bertanam atau memanen padi tersebut, warga yang tidak sempat berburu atau menangkap ikan tinggal mengeluarkan persediaan wadi yang mereka simpan di balanai (guci, belanga).
Peneliti dari Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya, Petrus, mengatakan, pengolahan ikan menjadi wadi merupakan bentuk kearifan lokal warga Dayak dalam menghadapi paceklik atau musim sepi ikan. Pengasinan atau proses fermentasi menjadi wadi berfungsi menghambat pertumbuhan bakteri merugikan. Melalui cara ini, ikan tidak rusak membusuk meskipun disimpan dalam waktu relatif lama.
Turun temurun
Pengolahan wadi dan mengonsumsinya di saat musim bertanam padi bahkan sudah menjadi kebiasaan turun-temurun warga setempat. ”Bukan main cita rasa wadi yang disantap bersama nasi panas saat warga berladang,” kata Petrus.
Petrus pun pernah meneliti takaran garam yang pas untuk membuat wadi agar rasanya bisa diterima khalayak lebih luas. Sebanyak 100 orang dari tiga kecamatan yang merupakan pusat industri rumah tangga wadi di Kalimantan Selatan–yakni Gambut, Kertak Hanyar, dan Astambul–dilibatkan dalam penelitian tersebut. Mereka masing-masing diberi 5 kilogram ikan untuk diolah menjadi wadi dengan takaran garam sesuai kebiasaan.
Uji organoleptik untuk mengetes rasa dilakukan terhadap wadi yang sudah difermentasi seminggu. Didapati bahwa wadi terenak adalah yang menggunakan garam sebanyak 15 persen terhadap berat total ikan. ”Saya mencoba lagi untuk mengubah cita rasa, yakni dengan memakai gula merah dengan beragam takaran,” kata Petrus.
Wadi yang diolah dengan gula aren terlalu banyak akan menghitam ketika digoreng sehingga penampilannya tidak menarik. Didapati bahwa persentase gula aren yang pas ditambahkan dalam pembuatan wadi adalah 15 persen terhadap berat total ikan. Petrus pun kemudian menambahkan jus jeruk nipis dalam pembuatan wadi. Diperoleh hasil penambahan jus jeruk nipis berkadar empat persen paling enak dalam membuat wadi.
”Jadi didapatilah (formula) terbaik, yakni 15 persen garam, 15 persen gula aren, dan 4 persen jeruk nipis. Rasanya "nano-nano" sehingga diharapkan pemasaran wadi nantinya tidak hanya di Kalimantan,” kata Petrus. Penelitian Petrus merupakan sebentuk upaya menjaga eksistensi makanan olahan khas Dayak.
Proses pembuatan wadi oleh masyarakat Dayak pun terdokumentasikan dalam buku Maneser Panatau Tatu Hiang (Menyelami Kekayaan Leluhur) (2003). Buku yang disunting Nila Riwut tersebut didasarkan pada buku Kalimantan Memanggil serta Kalimantan Membangun karya Tjilik Riwut (1918-1987). Juga dilengkapi catatan harian, naskah, dan dokumen yang dikumpulkan Tjilik Riwut semasa hidup.
Menurut isi buku tersebut, bahan yang dicampurkan pada ikan yang digarami untuk dijadikan wadi bukanlah beras, melainkan padi. Padi tersebut disangrai hingga kering. Pada kondisi masih panas, padi sangrai itu ditumbuk halus dan dicampurkan merata pada ikan yang digarami. Selanjutnya disimpan dalam balanga atau bambu tertutup rapat. Melalui cara ini, wadi disebutkan bisa tahan hingga setahun.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR