“Mereka suka memperlihatkan Hotel Indonesiaku yang penuh gairah. Kami menghasilkan dua juta dolar Amerika setelah hotel itu berjalan selama setahun,” tutur Presiden Soekarno dalam otobiografi, Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (1966).
Namun, kilaunya meredup bersama berlalunya waktu, tersaing hotel bintang 5 (*****) baru seantero Jakarta. Setelah 42 tahun, Hotel Indonesia (HI) yang diresmikan pada 5 Agustus 1962 berhenti melayani pada 15 April 2004.
Sang pengelola, PT Hotel Indonesia Natour kemudian sepakat dengan PT Cipta Karya Bumi Indah, anak perusahaan PT Djarum, untuk memugar hotel bersejarah ini. Dipilihlah cara built-operation-transfer selama 30 tahun yang dipercayakan pada Kempinski Hotels SA, kelompok hotel mewah tertua di Eropa (Jerman, 1897) sebagai pengelola sejak 2006.
HI Ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya lewat Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No.475 tanggal 29 Maret 1993 di masa Gubernur Surjadi Soedirdja, Hotel Indonesia berupa bangunan bersama kekayaan bersejarah yang menyertainya harus dilestarikan.
HI Kempinski Jakarta adalah satu-satunya jaringan Hotel Kempinski yang tak mencantumkan logo Kempinski. Ini kesepakatan pertama yang mesti ditaati.
Hirsch Bedner Association sebagai arsitek pemugaran mengembangkan lahan HI seluas 25.082 m2 dan (bekas) Hotel Inna Wisata/Wisata Internasional menjadi 7 ha kompleks Grand Indonesia : HI Kempinski Jakarta, 260 unit apartemen mewah di 59 lantai Kempinski Private Residences, 49 lantai Menara BCA, 8 lantai Grand Indonesia Shopping Town dan pusat hiburan Cross Roads of the World. Menara BCA terhubung dengan Grand Indonesia menaungi jalan umum – tak menutup hak lintas warga -- hingga ada pilihan terbuka untuk masuk HI selain dari lobby utama di Jalan MH Thamrin No.1.
Bentuk dasar Hotel Indonesia – huruf T – tak diubah. Penambahan luar ruang yang mencolok hanyalah tudung hijau yang memberi nuansa segar, hangat dan ramah untuk mengurangi sinar mentari menembus kamar.
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR