"Apakah peradaban ini dapat bertahan dari perubahan variabilitas iklim? Itulah inti dari semua pembicaraan perubahan iklim."
Demikian kata peneliti bidang geoteknologi, Prof. Dr. Jan Sopaheluwakan, dari International Center for Interdisciplinary and Advanced Research (ICIAR) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Dalam acara seminar LIPI bertajuk "Membangun Masa Depan Berkelanjutan: Strategi Indonesia Atasi Dampak Sosial Perubahan Iklim", Kamis (12/12), Prof Jan memaparkan beberapa aspek yang mengaitkan perubahan iklim dan mitigasi serta adaptasi kebencanaan.
Studi adaptasi perubahan iklim, tuturnya, menyadari bahwa fenomena perubahan iklim adalah tantangan yang pasti dihadapi pembangunan di masa depan.
Dampak utama primer dari perubahan iklim (kenaikan temperatur 2oC) secara global adalah kenaikan paras muka air laut serta perubahan intensitas dan frekuensi cuaca ekstrem, seperti yang sudah teramati belakangan ini dari berbagai bencana hidrometeorologi sebagai akibatnya kemudian.
Selain itu ada pula dampak pada massa air laut dunia yang bersirkulasi, disebut global conveyer belt. Apabila sirkulasi berhenti atau berkurang sedikit saja, akan memengaruhi iklim di Indonesia maupun dunia.
Bencana yang berangsur-angsur semakin tinggi (slow onset hazards) ini pada akhirnya menimbulkan dampak-dampak sosial ekonomi pula. Maka sudah menuntut disikapi dengan kesiapan untuk mitigasi, adaptasi, pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction/DRR).
Baca pula: Bencana Hidrometeorologi Diprediksi Dominasi 2013
"Strategi mitigasi dan adaptasi itu dapat berjalan bersama-sama, dan menjadi tanggung jawab seluruh pihak—pemerintah, swasta, masyarakat."
Menurut Prof Jan, kejadian bencana tidak pernah terjadi tiba-tiba, selalu ada precaution, atau tanda-tanda sebelumnya. "Tapi kalau sampai 'kecolongan', masalahnya dengan kemampuan deteksi kita," tukasnya. "Terus melakukan monitoring. Diharapkan kemampuan kita untuk mengatasi bencana dan DRR lebih baik."
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR