Jangan anggap enteng kebun binatang. Lewat satwa, manusia bisa berkaca. Lewat satwa, manusia bisa belajar memahami tanda-tanda alam. Kehadiran kebun binatang di kota memfasilitasi kepekaan warganya.
Senyum berkembang di wajah Sesil (9 bulan). Matanya yang bening mengerjap-ngerjap, menatap lurus ke arah kandang burung merak. Burung nan anggun itu berjalan berkeliling. Sesekali burung itu berhenti, menengokkan kepalanya, dan mengembangkan sayapnya yang berwarna-warni. Indah nian.
Sayup-sayup terdengar alunan lagu ”Si Kancil Anak Nakal” mengiringi langkah ratusan anak yang pagi itu memenuhi Kebun Binatang (KB) Surabaya. Langkah mereka terhenti di depan kandang-kandang hewan ”utama”, yaitu singa (Panthera leo), harimau (Felis tigris), ataupun orangutan (Pongo pygmaeus). Binatang-binatang ini menjadi primadona KB Surabaya. Kaki-kaki kecil itu berdesakan mengelilingi kandang. Wajah mereka terpana menyaksikan tingkah polah para binatang yang hanya bisa dilihat melalui buku atau televisi.
”Sebulan sekali, saya pasti ke sini. Saya ingin Sesil mencintai binatang dan lingkungan. Jadi, saya ingin mengenalkannya sejak dari kecil,” kata ayah Sesil, Bahtiar (28), warga Surabaya, Jawa Timur.
Selain menjadi tempat wisata, kebun binatang juga jadi laboratorium hidup untuk anak-anak. Dari sinilah mereka belajar tentang lingkungan, kekayaan alam, tetapi yang lebih penting kasih sayang. Kebun binatang menjadi refleksi paling nyata tentang interaksi manusia dan binatang.
Marsono (39), warga Klaten, Jawa Tengah, yang pagi itu datang ke KB Gembira Loka, Yogyakarta, bersama istri dan kedua putrinya, bersyukur ada kebun binatang di kotanya. Apalagi, jumlah hewan yang ada di sini mencapai 4.000 ekor dengan 244 spesies.
”Di sini anak-anak bisa mendapatkan pengetahuan baru mengenai bentuk dan tingkah asli hewan. Sebelumnya, mereka cuma tahu dari buku pelajaran,” katanya.
Kebun binatang ini memang membuka pintu lebar-lebar bagi anak-anak sekolah, dari TK sampai SMA, untuk memberikan edukasi mengenai flora dan fauna. Selain menyediakan pembimbing khusus, Gembira Loka juga menjadi tempat Pembelajaran Luar Sekolah, termasuk menyusun buku panduan bersama Dinas Pendidikan DIY.
Lalai
Nyatanya, kepedulian kita kepada kebun binatang baru di permukaan. Mari kita tengok kondisi di dalamnya. Tumpukan sampah, sebut saja plastik es krim, botol minuman, dan bungkus makanan ringan, teronggok di sudut-sudut KB Surabaya. Bahkan, jarak sampah itu begitu dekat dengan kandang binatang sehingga mereka dengan mudah bisa meraih sampah tersebut. Yang lebih ironis lagi, onggokan sampah itu hanya beberapa langkah dari tempat sampah!
Kondisi serupa kita temukan di Taman Margasatwa (TM) Ragunan yang berada di Ibu Kota Jakarta. Suasana yang resik dan bersih hanya terlihat di wilayah loket pintu masuk. Namun, setelah masuk ke dalam, sampah berupa botol-botol minuman plastik dan bungkus makanan ringan teronggok di berbagai sudut dan jalan. Lebih dalam lagi, area danau di sisi selatan juga tak terawat dengan sampah dedaunan dan ranting pohon di mana-mana.
Jarak antara tempat sampah yang satu dan lainnya di TM Ragunan relatif cukup jauh sehingga pengunjung seperti memiliki ”pembenaran” membuang sampah di mana saja meskipun di situ terpampang peringatan denda Rp 100.000 bagi mereka yang membuang sampah sembarangan. Tetapi, siapa yang peduli?
”Kami sudah berusaha kampanye, baik melalui tulisan maupun pengeras suara, kepada pengunjung agar tidak membuang sampah sembarangan dan juga tidak memberi makan kepada binatang. Tetap saja ada yang melanggar,” kata petugas hubungan masyarakat KB Surabaya, Agus Supangat.
Jumlah petugas kebersihan KB Surabaya saat ini 24 orang. Padahal, lahan kebun binatang mencapai 15 hektar sehingga seorang petugas bertanggung jawab untuk ”menyapu” sampah sejauh 3-4 kilometer. Jumlah ini dinilai sangat minim. KB Surabaya sedikitnya membutuhkan tenaga pembersih dua kali lipat.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR