Masjid Sultan Suriansyah menjadi ikon Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Kehadiran Masjid Sultan Suriansyah adalah jejak awal penyebaran Islam di Tanah Banjar yang kini menjadi wilayah Kalsel.
Alkisah, sekitar lima abad lalu, kawasan Kalsel, termasuk perkampungan Kuin, adalah wilayah Kerajaan Negara Daha yang berpusat di Negara (kini masuk wilayah Kabupaten Hulu Sungai Selatan). Merujuk berbagai sumber, termasuk buku Masjid Sultan Suriansyah Kembali ke Arsitektur Kuno (Panitia Pemugaran dan Pengembangan Masjid Bersejarah Suriansyah, Agustus, 2001) dan Riwayat Singkat Sultan Suriansyah (2006), kisah bersentuhan dengan Islam itu berawal ketika Kerajaan Negara Daha masih dipimpin oleh Maharaja Sukarama.
Raja memiliki tiga putra, yaitu Pangeran Mangkubumi, Pangeran Tumanggung, dan Pangeran Bagalung, serta seorang putri, yaitu Putri Intan Sari atau Putri Galuh. Sesuai tradisi, ketiga putranya adalah pewaris takhta kerajaan.
Namun, Maharaja Sukarama mengambil keputusan berbeda. Ia berwasiat, jika ia mangkat, yang menggantikannya adalah cucunya, Pangeran Samudera, putra dari pasangan Putri Galuh dan Menteri Jaya.
Berbeda dengan si sulung, Pangeran Mangkubumi yang tak berkeberatan, Pangeran Tumanggung dan Pangeran Bagalung menentang wasiat ayahnya itu. Saat Maharaja Sukarama meninggal, suasana istana langsung memanas. Jiwa Pangeran Samudera yang saat itu berusia kurang dari 10 tahun pun terancam. Seorang punggawa, Arya Trenggana, meminta Pangeran Samudera meninggalkan istana.
Permintaan itu dipatuhi. Dengan berbekalkan makanan, pakaian secukupnya, dan alat tangkap ikan, Pangeran Samudera lewat larut malam ”dihanyutkan” di sungai menggunakan jukung. Selama pelayaran, ia menyamar sebagai nelayan. Setelah menempuh perjalanan selama belasan tahun, ia berjumpa dengan Patih Masih di perkampungan Kuin. Mereka berkenalan hingga terungkap, nelayan muda itu adalah Pangeran Samudera. Atas dukungan patih lain dan rakyat, Patih Masih mengangkat Pangeran Samudera menjadi raja Kerajaan Banjar, melepaskan diri dari Kerajaan Negara Daha.
Saat itu, Kerajaan Negara Daha dipimpin Pangeran Tumanggung. Ia menggantikan kakaknya, Pangeran Mangkubumi, yang tewas dibunuh. Mendengar Pangeran Samudera masih hidup dan menjadi Raja Banjar, Pangeran Tumanggung langsung menyatakan perang. Dua peperangan tak terhindarkan lagi.
Dalam peperangan itu, Kerajaan Banjar mendapat dukungan dari Kerajaan Demak di Pulau Jawa yang tiba di Kuin pada 1526. Sokongan dari pasukan Demak dengan syarat, Pangeran Samudera dan pengikutnya menjadi pemeluk Islam.
Pertempuran berakhir manis. Pangeran Tumenggung luluh hatinya saat berhadapan dengan Pangeran Samudera. Keduanya berpelukan. Pangeran Samudera diakui memimpin Kerajaan Banjar yang berarti resmi pisah dari Kerajaan Negara Daha.
Peristiwa bersejarah itu terjadi pada 24 September 1526, yang belakangan menjadi hari jadi Kota Banjarmasin. Sesuai janjinya, Pangeran Samudera, Patih Masih, dan pengikutnya memeluk Islam, setelah mendapat bimbingan dari Khatib Dayyan, utusan Kerajaan Demak.
”Setelah memeluk Islam, Pangeran Samudera berganti nama menjadi Sultan Suriansyah. Ia yang membangun masjid ini sekitar 500 tahun lalu. Namanya diabadikan menjadi nama masjid ini,” kenang Marno, pegawai Masjid Sultan Suriansyah.
Bangunan Masjid Sultan Suriansyah berarsitektur khas Banjar, yakni berkonstruksi panggung dan beratap tumpang. Di bagian mihrab, atap terpisah dengan bangunan induk. Meski beberapa kali dipugar, nuansa kekunoan masjid tetap terjaga. Sejumlah daun pintu berukir peninggalan awal—meski tak difungsikan lagi—tetap dijejerkan di sekitar dinding masjid. Mimbar kuno dari kayu ulin pun tetap dipertahankan.
Sekitar 200 meter dari lokasi masjid terdapat kompleks makam Sultan Suriansyah. Masran Bai (70), penjaga makam, menjelaskan, kompleks makam itu dahulu adalah istana sultan.
Penulis | : | |
Editor | : | Gisela Niken |
KOMENTAR