Kegemaran orang Minahasa menyantap beragam jenis daging hewan menegaskan bahwa manusia benar-benar berada di puncak rantai makanan.
Berapa jenis daging hewan yang pernah Anda makan? Cici (16), dara manis berkulit langsat asal Kanonang, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, tersipu mendengar pertanyaan itu. Dengan suara pelan, ia menghitung dengan jarinya sambil menyebut hewan yang pernah ia makan, mulai dari ikan, ayam, babi hutan, kelelawar, ular, anjing, kucing, hingga tikus hutan.
”Pokoknya, semua hewan yang berkaki, melata, terbang, dan berenang kami sikat, ha-ha-ha,” ujar Cici mengulang seloroh yang paling sering diungkap orang Minahasa. Dari sekian hewan yang disebutkan, Cici sangat menyukai tikus hutan yang dimasak bumbu rica dan santan. ”Setiap kali makan nyanda (tidak) cukup kalau cuma dua ekor, paling sedikit lima ekor baru kenyang,” kata Cici.
Bagaimana rasanya? ”Wah, rasanya mau nambah,” tukas Cici diikuti tawa renyah. Ia mengasosiasikan cita rasa daging tikus dengan daging ayam yang diberi sedikit rasa manis.
Jenis hewan yang disebutkan Cici baru sebagian dari banyak hewan hutan yang biasa disantap orang Minahasa. Kalau ingin tahu lebih lengkap, kita bisa menengok Pasar Tomohon dan Langowan. Kedua pasar tersebut menjadi etalase aneka daging hewan liar.
Akhir November lalu, Lientje Rengkuan (57) menjajakan puluhan daging tikus hutan. Dia bilang, tikus yang dijual hanyalah tikus hutan atau kebun berekor putih (Maxomys hellwandii). ”Ekor putih itulah yang membedakan tikus hutan dan tikus rumah,” ujar Lientje yang juga menjual setumpuk daging kelelawar atau paniki.
Di lapak lain, pedagang memajang ular piton dengan panjang sekitar 3 meter. Ada juga pedagang yang menjual daging babi hutan dan anjing. Hari itu, menurut Lientje, jenis daging hewan yang diperdagangkan tidak lengkap. ”Kalau mau melihat yang lengkap, datanglah ke pasar ini pada hari Jumat dan Sabtu pagi,” katanya.
Saat itu, hampir semua daging hewan penghuni kebun dan hutan di Sulawesi tersedia di lapak pedagang, mulai dari soa- soa, burung weris, kuskus, tarsius, rusa, hingga hewan endemik langka seperti yaki (Macaca nigra), babirusa (Babyrousa babirussa), dan anoa (Bubalus sp).
Lidah orang Minahasa memang akrab dengan hewan liar. Survei Indiyah Wahyuni, dosen Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi, tahun 2005 menemukan, daging hewan yang paling disukai orang Minahasa adalah tikus dan babi. Daging ayam dan sapi ada di urutan paling belakang. Di Kota Manado yang dihuni para pendatang, daging yang disukai berturut-turut adalah ayam, tikus, anjing, dan babi.
radisi menyantap dan memperdagangkan hewan liar (bushmeat) sama tua usianya dengan asal-usul manusia modern yang diyakini paleontropolog dan ahli genetika muncul di Afrika 200.000 tahun lalu. Bagaimana tradisi itu menyebar?
Pada 50.000-70.000 tahun sebelum Masehi, nenek moyang manusia modern menyebar ke berbagai penjuru, seperti Asia Australia, Eropa, dan Amerika. Mereka bergerak selama ribuan tahun menyusuri gunung dan padang mengikuti kawanan hewan yang bisa diburu untuk dimakan (National Geographic Indonesia, Maret 2006).
Tradisi yang dibawa nenek moyang itu bertahan di sebagian masyarakat Afrika, Asia, dan Amerika Selatan yang tinggal dekat savana, semak-semak, atau hutan. Orang Afrika Barat dan Afrika Tengah mengonsumsi gajah, antelop, rusa, zarafah, dan monyet-monyet besar.
Di Minahasa, menurut catatan Elizabeth L Bennett, 36 persen daging hewan yang dikonsumsi di 17 desa pada tahun 2000 berasal dari hutan.
Hutan buat orang Minahasa benar-benar menjadi sumber protein yang penting. Tengoklah Desa Elusan, Minahasa Selatan, yang dikepung kebun dan hutan lebat. Suatu sore yang basah, Alex Tambayong (43) ditemani tiga anjing pemburu masuk ke dalam hutan dekat rumahnya untuk mencari tikus.
Perburuan dimulai Alex dengan menggali tanah di bawah sebuah pohon. Tiga anjingnya dengan lincah membantu penggalian. Di lubang pertama dan kedua, tak satu tikus pun didapat. Di lubang ketiga barulah Alex mendapatkan tikus.
”Awas, so dekat,” teriak Alex memecah kesunyian hutan. Kurang dari satu jam, dua tikus sepanjang 20-an sentimeter tertangkap dan siap diolah menjadi woku atau rica.
Hukum Tua (Kepala Desa) Elusan, Frans Ampow, mengatakan, kecuali beras, sebagian besar bahan makanan mulai dari bumbu, sayur, hingga daging yang disantap warganya diambil dari kebun atau hutan yang jaraknya hanya sepelemparan batu. ”Kalau mau bikin pesta, warga masuk hutan untuk berburu babi, paniki, tikus, ayam hutan, dan soa-soa. Kekurangannya baru kami beli di pasar,” ujarnya.
Dengan bangga, Frans mengatakan, desanya yang dihuni lebih dari 300 keluarga telah melahirkan seorang anggota parlemen dan tiga doktor. Meski begitu, tradisi makan hewan buruan masih tetap kuat.
Mengapa tradisi bushmeat yang usianya sezaman dengan manusia modern pertama itu tetap bertahan di Minahasa? Nasrun Sandiah, dosen antropologi Universitas Sam Ratulangi, menjelaskan, kontrol terhadap makanan di Minahasa sangat longgar. ”Orang bisa makan hewan apa saja karena tidak ada larangan,” ujarnya.
Tradisi itu makin kuat lantaran menyajikan dan menyantap daging hewan liar dianggap bergengsi. ”Semakin langka daging yang disajikan, semakin dianggap bergengsi,” katanya.
Alam masih menyediakan hewan liar meski tidak semelimpah dulu. Nasrun yakin tradisi bushmeat di Minahasa akan berakhir ketika hewan di hutan dan kebun Sulawesi habis disantap.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR