Sambil menuang anggur lokal, saya memandangi pegunungan dan timbul keinginan untuk bercengkerama dengan mereka. Di sebuah toko pusat kota, saya bertemu Joze Flajs berusia 28 tahun, atlet kayak yang mengenal tempat itu. Pagi berikutnya pukul 9 pagi kami mendaki Gunung Kanin, tempat bermain ski di atas Bovec. Tiga puluh menit kemudian kami sudah berada di ketinggian 2.195 m dpl. Curam, dengan hamparan tanah berbatu di sana-sini. Mengarah ke selatan mendaki lembah dan Soca; 72 km ke barat daya di Laut Adriatik. Saya mengikuti Flajs mendaki tanah berbatu, beralih ke daerah sempit yang curam di kedua sisinya: perbatasan. Menuruni sisi Italia, saya bisa mendaki lagi. Lalu bertemu sepasang kekasih. "Buon Giorno!" mereka berseru.
Flajs dan saya memasuki wilayah Italia melalui jalan sempit di sisi gunung. Tempat yang sangat tinggi, bebatuan tajam bercampur dengan tumpukan salju dan rumput Alpen. Sekitar 30 m di atas kami, tebing Anasazi, terdapat bekas peninggalan PD I. Tempat yang sunyi. Slovenia tertinggal di belakang, Italia menyambut di depan kami. Selama PD I tempat ini diperebutkan. Isonzo di antara Italia dan Austria. Saya kagum kepada para tentara yang ditugaskan berjaga di sini selama musim salju. Dingin, memilukan, sepi, adakah gunanya berjaga di perbatasan ini? Sekali lagi, perbatasan hanyalah sebatas ide—buatan manusia yang di sini tampak tidak masuk akal.
Tengah malam, di bawah sinar bulan purnama, di halaman sebuah bar yang disebut The Pink Panther, teman Flaj, Marijan Mlekuz, menjadi lawan diskusi saya membahas Yugoslavia. "Kami selalu merasa sebagai orang Slovenia; bukan milik Tito," katanya, mengacu Yugoslavia di masa lalu, saat dipimpin presiden komunis Josef Broz Tito (sekarang sudah tidak ada lagi) . "Yugoslavia bukan yang sebenarnya—terpecah pada tahun 1943—dan kami kaum Slovenia selalu berbeda. Kami bangga dengan negara kami. Kami terbuka seperti orang Slovenia; disiplin seperti orang Austria; dan," katanya sambil mengedipkan mata, "pintar menggoda dan berdagang seperti orang Italia!"
Waktu berlalu, saya tidak lagi mengandalkan buku panduan, lebih suka ditemani peta dan perbatasan, mengembara serta berhenti di mana ada pembauran budaya. Senang rasanya tidak terikat agenda apa pun. Di gunung yang melewati Predil, pen-jaga perbatasan Italia memeriksa paspor saya. "Orang Amerika? Paspor Anda harus distempel." Bukan yang pertama kalinya saya mengalami hal seperti ini. Setelah mendapatkan izin untuk menyeberangi perbatasan saya lega.
Sesudahnya, saya mendatangi Cave del Predil, per-tambangan di Italia yang kelihatan belum berubah sejak 1942 dan tidak ada kepastian bangsa mana yang memilikinya. Sebuah mo-numen untuk Kaisar Austria Franz-Josef Erbstollen berdiri di Via Giuseppe Garibaldi, sebentuk penghormatan bagi pahlawan abad ke-19. Saya memandanginya seraya menyimak radio: wawancara Arnold Schwarzenegger, gubernur California keturunan Austria.
Di sebuah dusun yang disebut Fusine, saya tertarik melihat gereja bertembok kuning beratap kayu dihiasi menara tinggi menjulang dan jam oranye. Gereja ini berusia ratusan tahun. Tembok batu mengungkung makam, semuanya dihiasi tanaman marigold kuning dan geranium merah. Satu lagi tempat menarik, dan yang memikat hati saya adalah nama-nama mendiang. Meskipun gereja ini sekarang masuk wilayah Italia, di sinilah Maria Mittendorfer bersemayam, lahir 1877, Amelia Germansky, lahir 1889 dan Johanna Mrak, lahir 1923. Dari celah pagar berjeruji besi, dan nisan-nisan, bersemayam nama-nama mendiang yang menyandang nama Italia: Frachesttos, Agostinos dan Coppelleris. Di pojok bernuansa Eropa, beberapa makam tampak rusak akibat gerusan zaman berabad-abad. Arsitekturnya seragam, untungnya ada peninggalan makam ini, yang menjadi penanda perbatasan terbaik dibanding peta.
Dari Fusine, saya memotong jalan ke timur, kembali ke Slovenia, lalu ke utara dan kembali ke timur lagi, meniti jalan berliku menuju Austria. Petugas perbatasan di Jezersko dengan tegas memberitahu bahwa hanya anggota Uni Eropa yang diperbolehkan melintasi perbatasan, tetapi akhirnya dia mengizinkan saya melintas. Slovenia, Austria, nyaris tidak terlihat perbedaannya—hanya pepohonan raksasa dan pegunungan menjulang.
Saya menuruni bukit dan dalam 30 menit sudah sampai lagi di Slovenia, di Logarska Dolina—lembah di mana terdapat peternakan dan gudang yang sangat asri, dinyatakan sebagai taman regional. Saya perhatikan, banyak petani menerima tamu untuk menginap dan saya memilih rumah Renata Gregorc dan suaminya, Edvin Ambroz, petani sekaligus pegawai angkatan udara Slovenia yang pernah bertugas di Alabama selama setahun.
Malam itu, selagi Ambroz menuang minuman anggur lokal ke beberapa gelas, ayahnya membakar daging di atas perapian. Perbatasan negara jadi topik perbincangan kami. Di sini, jauh dari Belgrade—bekas ibukota Yugoslavia—perbatasan yang menurut Ambroz tidak pernah diakui keberadaannya.
Resminya, kawasan di sisi gunung itu adalah Austria, tetapi pernah menjadi bagian Slovenia, dan dikuasi orang-orang Slovenia yang, menurutnya, tidak pernah merasa dijajah. Di lembah terpencil ini, jauh di pelosok hutan pegunungan, bahkan di sisi utara perbatasan yang disebut Iron Curtain, terasa lebih abstrak dibanding kenyataan yang ada, sangat tidak relevan bagi orang-orang yang tinggal di perbatasan. Orang-orang hidup saling berdampingan bukan semata karena konstruksi politis tetapi karena kesamaan identitas yang sudah berlangsung sekian lama.
"Area ini dihuni pensiunan tentara PD II," kata Ambroz. "Saat area ini masih jadi bagian Yugoslavia, kebijakan perbatasan diberlakukan lebih tegas. Banyak orang yang coba menerobos garis perbatasan, dan untuk itu Anda harus membuat jalan sendiri. Dalam waktu singkat, sedikit demi sedikit arus pendatang menembus hutan dan perbatasan," katanya. "Kami menjaga kota kami dan Tuhan Maha Mengetahui, itulah yang terpenting."
Dari Logarska Dolina, saya menuju ke utara dan timur lagi, berkendara selama 4 jam di jalan berlumpur menembus hutan dan melintasi pegunungan, seindah perkampungan Alpen, yang dipenuhi peternakan di sekitar gereja. Saya bermalam di Austria walau sebenarnya lebih betah di Slovenia. Suasana pedesaan yang tenang terasa lebih nyata. Saya melanjutkan perjalanan ke timur, yang mengarahkan saya pada hamparan tanah lapang dan kebun jagung—pada Minggu sore saya menyeberangi Hungaria.
Penulis | : | |
Editor | : | Oik Yusuf |
KOMENTAR