Memasuki Desember, perburuan satwa liar di Gorontalo, diperkirakan meningkat, karena menyambut Natal dan Tahun Baru, keperluan daging lebih banyak dari hari biasa. Satwa-satwa liar itu dipasok ke Sulawesi Utara (Sulut), khusus Minahasa dan Manado.
Demikian diungkapkan Tatang Abdulah, Kepala Resort Cagar Alam Panua di Marisa, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, Sabtu (15/12).
Sejak awal Desember, dia sudah mendapatkan laporan di Kecamatan Popayato, ada satwa seperti anoa (Bubalus depressicornis) terperangkap jerat. Satwa ini langsung dibawa karena sudah ada yang menunggu dengan mobil bak terbuka, langsung ke Sulut. “Para pemburu biasa mengambil babi hutan, kalau sudah terpasang jerat, satwa apa saja bisa diambil.”
Di Cagar Alam Panua, pengawasan terbilang longgar, karena personil sangat kurang. Dengan luas cagar alam menjadi 36. 575 hektar, Tatang sebagai pegawai Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), dibantu beberapa kader konservasi.
Lain hal dengan Suaka Margasatwa Nantu. Di wilayah ini, hutan dan satwa relatif terjaga meskipun ada beberapa titik tambang rakyat. Sebab, di hutan selain dijaga dari BKSDA, juga ada penjagaan ketat Brimob Polda Gorontalo. “Saat ini sudah jarang perburuan satwa liar di Nantu,” kata Syamsudin Hadju, Kepala BKSDA Seksi II Sulut di Gorontalo.
Menurut Syamsudin, di Sulut, khusus Minahasa, mulai terjadi penurunan konsumsi satwa liar. Pemerintah telah menekan masyarakat tak mengkonsumsi daging satwa liar.
“Sekarang sudah ada regulasi mengatur perburuan satwa liar di Minahasa dan sekitar. Perburuan sudah menurun. Meskipun masih ada beberapa orang terus berburu,” katanya. Dia sempat menjabat sebagai Kepala BKSDA Cagar Alam Tangkoko, Bitung.
Di hutan Nantu, yang menjadi maskot saat ini babi rusa (Babyrousa babyrussa), merupakan fokus penelitian Lynn Clayton, perempuan berkebangsaan Inggris, Doktor Eko Biologi Babi Rusa dari Universitas Oxford. Clayton meneliti babi rusa di hutan Nantu, Paguyaman, Gorontalo, selama 20 tahun terakhir.
Menurut Clayton, populasi babi rusa di seluruh Sulawesi hanya sekitar 5.000 ekor. Di Nantu, populasi 1980-an sebanyak 500-an ekor menyusut menjadi 200-an ekor pada 2010. Penyusutan ini akibat perburuan, terutama Desember.
Menurut Jhon Tasirin, Direktur Pacific Institute for Sustainable Development, ancaman paling besar ada di Sulut, karena budaya konsumsi semua satwa berdaging. Satwa liar ini menjadi sumber protein.“Karena kekayaan hayati inilah orang Minahasa dengan mudah mengambil protein dari daging satwa di belakang ruma, misal yaki.”
Namun, kini alam dengan populasi manusia yang padat, tak mampu lagi mendukung. “Jadi harus ada alternatif lain. Harus dicegah jangan sampai perambahan ke ranah alami ini makin kurang dan berdampak ke masa depan, kemudian alam menjadi tandus.”
Dia mengatakan, melarang makan yaki atau satwa lain bukan berarti mengubah tradisi. Sebab, makanan itu bukan kebutuhan esensial bagi orang Minahasa. Protein bisa dari sumber-sumber lain, seperti ikan, ayam, babi, sapi, atau ternak lain.
“Kalau yaki tergantung alam, jika dibiarkan akan menurun populasi. Itu bagian dari ekosistem Sulawesi. Salah satu unsur ekosistem hilang, apalagi jika spesies kunci di satu kawasan, maka lainnya akan runtuh perlahan-lahan tapi pasti.”
Iwan Hunowu, dari Wildlife Conservation Society (WCS) Sulut, mengatakan, masih banyak perdagangan satwa liar di pasar-pasar tradisional di Minahasa, seperti di Pasar Langowan dan Tomohon. “Hampir semua satwa liar diperjualbelikan di Pasar Langowan dan Tomohon, termasuk yaki, babi hutan, babirusa, anoa, paniki yaki, tikus hutan ekor putih, ular, kuskus, tupai, dan weris.”
Baca juga: Makanan Minahasa dan Tradisi Menyantap Hewan Liar
Satwa-satwa itu dijual hampir setiap minggu tetapi sebagian besar tergantung persediaan daging satwa itu. Satwa-satwa itu didapat dari hutan di Minahasa, Gorontalo, bahkan Sulawesi bagian tengah, tenggara, selatan, dan Kalimantan.
Stephan Milyosky Lentey dari Macaca Nigra Project menambahkan, pasar-pasar tradisional di Tomohon dan Langowan yang menjual satwa liar itu dianggap wisata kuliner ekstrem oleh pendatang yang berkunjung.
“Pasar ini seperti tempat wisata dengan menyebut kuliner ekstrem. Ada yang bilang belum lengkap kalau datang ke Sulut belum melihat pasar ekstrem ini. Tentu ini sangat merugikan.”
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR