Menurut sejumlah kesaksian masyarakat Aceh, tsunami 2004 sangat tidak sadari kedatangannya. Pasca berlalu guncangan dari gempa, memastikan keselamatan anggota keluarga dan memeriksa kondisi kerusakan rumah, berjaga-jaga akan adanya gempa susulan. Namun saat tu, mereka sama sekali tidak memikirkan soal tsunami.
Seorang pria 40 tahun mengaku, saat itu ia berada di pantai Ulee Lheue, dan setelah guncangan berhenti, saya mengkhawatirkan keluarga dan segera pulang ke rumah. Setibanya, kondisi dalam rumah telah berantakan, tetapi rumah itu sendiri tidak mengalami kerusakan. Saya tiba di rumah kira-kira pukul delapan pagi. Di depan rumah telah berkumpul banyak orang, termasuk seluruh keluarga, mertua, dan tetangga-tetangganya. Semua orang terlihat ketakutan. Saya terduduk di halaman depan, lima menit kemudian orang-orang berteriak 'air meluap...air laut meluap...'"
Tatkala gempa berlangsung, kebanyakan orang Aceh saat itu juga berpikir di tengah-tengah serangan tsunami—ini adalah ‘kiamat’. "Pada saat terjadi gempa bumi, saya sedang berada di rumah saudara saya. Tetapi suami dan anak saya berada di rumah saat itu. Awalnya saya berpikir ini adalah gempa bumi biasa, karena guncangan menjadi semakin kuat, semua orang berlarian keluar rumah, sambil berdoa kepada Tuhan. Saya merebahkan badan ke tanah, saat itu saya berpikir ini adalah kiamat dunia," papar salah seorang warga lain.
Orang yang selamat pun mengatakan, pada saat pertama mereka melihat luapan air dari laut, mereka tidak merasakan bahaya apa-apa. Saat ditanya kapan mereka melihat air datang, seorang yang tinggal di Desa Lam Lumpu menjawab, "Pada saat itu keluarga saya sedang berdiri di depan rumah, saya berusaha bertanya ke semua orang yang sedang berlari. Tidak ada satu pun yang menjawabnya, mereka terus melarikan diri. Sesaat kemudian saya melihat gelombang air berwarna hitam pekat setinggi pohon kelapa, datang ke arah rumah saya."
Lanjutnya, setelah melihat air dengan ketinggian luar biasa ini —atau lebih tepat disebut dinding air— proses pengungsian mulai dilakukan. "Suaranya terdengar seperti suara pesawat jet, seperti perang, saya panik. Karena ada anak kecil, saya segera membawanya lari."
"Air laut meluap"
Tercatat banyak penuturan yang hampir sama, bahwa sebelum datangnya tsunami besar memang terdengar orang berteriak-teriak "air laut meluap", tetapi sama sekali saat itu tak terpikirkan mengenai tsunami mematikan. Mereka sama sekali tidak paham mengenai tsunami, tak tahu bahwa itu tsunami dan menyebutnya sebagai air laut yang meluap. Saat itu pun tidak ada peringatan secara umum atau informasi dari media.
Jadi walaupun terdengar suara teriakan, atau terlihat orang berhamburan menyelamatkan diri, warga tidak langsung berpikir tsunami, melainkan terpikir hal-hal lainnya. Bahkan ada juga yang berpikir mungkin konflik bersenjata sedang terjadi. Gerakan anti-pemerintah yang terus berlanjut di Aceh pada saat itu sehingga sering terjadi gerakan militer sporadis.
Selanjutnya dari cerita orang-orang ini dapat diketahui selang waktu terjadinya tsunami hanya berkisar beberapa belas atau puluh menit saja setelah gempa. Lalu gelombang pertama datang dengan ketinggian kira-kira 10 meter, disebutkan hingga menutupi seluruh rumah dua lantai.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR