Sebuah studi berjudul Sex Offenders, Clinical Psychology of di jurnal International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences (2001) menjelaskan, bahwa tindak predasi seksual disebabkan oleh kemarahan dan rasa kuasa.
"Beberapa cendikiawan feminis telah melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa pelanggaran seksual adalah tindakan 'seksual semu' dan itu bukan tentang seks," tulis Gordon C. Nagayama Hall, yang kini menjadi profesor psikologi di University of Oregon.
"Hubungan bermusuhan dengan wanita dapat menyebabkan beberapa pria berusaha untuk memaksakan rasa superiornya pada wanita lewat kekerasan seksual. Beberapa pedofil mungkin juga memiliki motif kemarahan dan kekuatan untuk tindakan mereka."
"Namun, depresi adalah awal yang lebih umum untuk menganiayai anak daripada rasa marah. Salah satu sumber depresi mungkin dirasakan atau ketidamampuan sosial yang sebenarnya dalam hubungan teman sebaya. Kontak seksual dengan anak-anak dapat mewakili metode mal-adaptif dari mengatasi depresi ini," tulisnya.
Hall menambahkan, perilaku agresif secara seksual juga memungkinkan jadi motivasi beberapa bentuk kekerasan seksual. Biasanya penjahat kelamin akan menyangkal atau meminimalkan dampak dari serangan seksual yang dilakukannya.
Baca Juga: Tradisi Menyetrika Payudara Agar Terhindar dari Kejahatan Seksual
Perilaku ini termasuk gangguan kognitif, dan dapat terjadi pada tindak pemerkosaan terhadap yang dikenalinya termasuk hubungan sedarah.
"Seorang pemerkosan pada yang dikenalinya mungkin berpendapat bahwa pemerkosaan tidak dapat terjadi dalam konteks suatu hubungan atau keberadaan suatu hubungan membenarkan jenis kontak seksual yang diinginkan pemerkosa," terang Hall.
Sedangkan pada inses, kontak seksual dimaknai pelaku sebagai bentuk kasih sayang, atau pendidikan seksual, atau sekedar bermain-main. "Dengan demikian," Hall menyimpulkan, "motivasi seseorang yang mengalami gangguan kognitif adalah kontak seksual itu 'normal' dan tidak agresif."
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR