Maida Taufani (45), warga Desa Pasar Pedati, Sungai Suci, Kabupaten Bengkulu Tengah (Benteng), Provinsi Bengkulu, menatap nanar ke tengah laut lepas. Berbalut pakaian Satuan Polisi Pamong Praja dia seolah ingin kembali ke tahun 1987 saat tanah ukuran 200 x 50 meter yang ia miliki berada jauh di tengah laut.
Ia berbicara keras kepada Kompas.com berusaha mengalahkan suara angin laut yang menampar wajah kami. Kata dia tanahnya saat ini tersisa 25 x 80 meter akibat digerus abrasi.
"Jika diukur dari pinggir pantai mengarah ke laut maka panjangnya 50 meter tanah saya hilang ditelan laut sejak tahun 1987, ini akan terus mengancam permukiman dan jalan umum milik pemerintah, akan ikut hilang," katanya sambil menunjuk ke arah laut lepas tempat dahulu tanahnya berada yang saat ini berubah menjadi laut.
Dilihat dari bibir pantai, abrasi parah menghantam tanah milik Maida. Bibir pantai saat ini menyisakan sekira 30 meter dari rumah sederhana yang ia tempati. Cerita Maida merupakan satu contoh kasus kecil dari kegilaan abrasi "mengunyah" daratan Bengkulu.
Perubahan iklim yang berakibatkan laju abrasi menggila merupakan ancaman tersembunyi yang serius bagi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Demikian sepenggal pernyataan dari Hery Suhartoyo, staf pengajar Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu.
Suara bariton Hery semakin bersemangat ketika ia memberikan argumentasinya, Perubahan iklim dan laju abrasi menurut dia satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam proses pemecah kedaulatan NKRI dari sisi geografi.
"Dapat diprediksi jika daratan terus tergerus akibat hantaman ombak, seperti Bengkulu, Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) akan semakin mengecil ke daratan, ini berpengaruh sangat signifikan namun tak terasa, Pulau terluar Bengkulu, yakni Enggano juga ikut tergerus," kata Hery saat di jumpai di ruang kerjanya.
Dia mengungkapkan, hasil riset yang pernah ia lakukan pada 2013. Bengkulu memiliki garis pantai sepanjang 525 kilometer ditempati enam kabupaten dan satu kota mengalami laju abrasi cukup akut. Laju abrasi di pesisir Bengkulu per tahunnya mencapai 2,5 meter.
"Persoalan ini sebenarnya tidak saja terjadi di Bengkulu tetapi membentang dari Lampung hingga Aceh, ini ancaman yang harus diantisipasi, ini problem karena Bengkulu berada di wilayah pantai barat berhadapan langsung dengan Samudera Hindia," tambahnya.
Saat ini, frekuensi hujan dan badai tak dapat lagi diprediksi akibat pemanasan global yang mempengaruhi sistem iklim, hal ini terjadi sejak lima hingga 10 tahun ke belakang. Demikian juga dengan volume air laut yang terus bertambah akibat mencairnya es di beberapa wilayah dunia, kondisi ini menurutnya berkontribusi besar pada abrasi.
Rafly Kaitora, seorang Kepala Suku di Pulau Enggano, pulau terluar Bengkulu menceritakan, pulau yang memiliki luasan berkisar 40 hektare dengan jumlah penduduk berkisar 3.000 jiwa itu juga ikut tergerus abrasi.
"Setahun laju abrasi mengikis daratan Enggano mencapai satu meter, jumlah itu terus bertambah setiap tahun sehingga ancaman hilangnya pulau ini jelas terjadi," bebernya.
Ditegaskan dia, penyelamatan Pulau Enggano sebagai pulau terluar Bengkulu wajib dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah jika tidak, luas daratan Enggano akan tergerus oleh naiknya permukaan air laut dan laju abrasi.
Saat ini terdapat dua pulau kecil di dekat Enggano hilang yakni Pulau Bangkai dan Pulau Satu— akibat abrasi dan naiknya permukaan air laut, kedua pulau tersebut merupakan pulau terluar tempat dimana ZEE mulai dihitung hingga sejauh 200 mil ke tengah laut.
Setali tiga uang dengan Hery Suhartoyo, Rafly Kaitora, Direktur Eksekutif Walhi Bengkulu, Benny Ardiansyah menyebutkan rata-rata per harinya laju abrasi di kawasan pesisir daerah itu mencapai 10 sentimeter hingga 30 sentimeter per hari, kecepatan abrasi juga terjadi jika terdapat aktivitas pertambangan dan kerusakan di wilayah pesisir.
"Kecepatan abrasi akan signifikan terjadi bila di sebuah kawasan terdapat aktivitas perusakan bibir pantai seperti tambang pasir dan batu," kata Benny. Sepanjang 525 kilometer panjang pesisir Bengkulu dari data yang dimiliki Walhi setidaknya terdapat 128 desa bermukim memanjang mulai dari Kabupaten Mukomuko berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat, hingga Kabupaten Kaur berbatasan dengan Provinsi Lampung.
Koordinator Kebencanaan Woman Crisis Center (WCC) Cahaya Perempuan, Bengkulu, Nurcholis Sastro, mengungkapkan, secara ekstrem pada tahun 2040 sedikitnya 20 desa di kawasan pesisir daerah itu diprediksi akan menghilang akibat laju abrasi yang sangat tinggi.
"Saat ini jarak bibir pantai dengan permukiman penduduk sudah sangat dekat, bahkan ada beberapa rumah yang tepat berada di bibir pantai," kata Nurcholis.
Tidak saja mengancam permukiman warga, jalan milik negara yang memanjang pantai ikut menjadi korban keganasan abrasi, kejadian terbaru adalah jalur llintas Bengkulu-Sumatera Barat tepatnya di Desa Serangai, Kecamatan Batik Nau, Kabupaten Bengkulu Utara ambles sepanjang 20 meter dengan kedalaman berkisar dua meter, mengakibatkan kemacetan hingga ratusan meter kendaraan.
Jalan tersebut merupakan peralihan dari jalan lama yang habis dikikis abrasi, hanya dipindahkan sekitar 500 meter dari jalan lama, namun lagi-lagi ambles padahal pembangunan belum genap enam bulan.
Tahan laju abrasi
Hery Suhartoyo hanya memberikan tips sederhana untuk menahan laju abrasi yang terus menggerus Bengkulu, bahkan lebih jauh Pulau Sumatera.
Pertama, pesisir laut lepas seperti Bengkulu harus diperbanyak penanaman vegetasi pantai, jika terdapat sungai dan lumpur maka tanaman mangroove adalah pilihan tepat. Langkah ini meski masih terbatas dilakukan namun telah mulai tumbuh dalam kesadaran masyarakat.
Kedua, jika tak terdapat lumpur maka tanaman pohon cemara laut, waru dan ketapang merupakan tanaman yang baik sebagai penahan laju angin dan pengikat tanah di pesisir pantai.
Walhi Bengkulu, memberikan masukan agar adanya kebijakan lintas provinsi dalam upaya penyelamatan Pulau Sumatera karena persoalan abrasi akut yang terjadi di pesisir Bengkulu merupakan ancaman bersama bagi keberadaan Sumatera termasuk penyelamatan pulau terluar.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR