“Pemindahan makam adalah hal lumrah waktu itu,” ungkap Lilie. “Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen pun dulu dimakamkan di Stadhuis [Balai Kota] Batavia, baru kemudian dipindahkan ke dalam Kruiskerk.”
Sampai beberapa dekade gereja ini merupakan bangunan tertinggi di Batavia. Namun, serangkaian gempa—mungkin meletusnya Gunung Salak pada 1761 dan 1780—membuat kerusakan serius pada konstruksinya. Tak lama setelah itu dijual atas perintah Daendels, pada 1808, gereja itu dirobohkan.
Makam-makam di gereja itu—juga kerangka yang bersemayam di dalamnya—dibongkar untuk dipindahkan ke permakaman Kebonjahe. Kuburan di selatan Kota Batavia itu telah dibuka pada 1795, namun lokasinya yang jauh kerap menimbulkan gerutu warga Batavia.
Semua nisan yang dibongkar diberi nomor inventaris, tak terkecuali milik keluarga Pieter Janse van Hoorn—dan Tack. Nisan itu diberi ukiran kode “HK No.26”. Kode HK merupakan kependekan dari ‘Hollandsche Kerk’ sebagai asal nisan.
“Tentu saja tidak semua makam dipindahkan,” ungkap Lilie, “untuk keluarga yang tidak mengurus, maka hanya batu-batu nisan yang diangkat.” Sebagian nisan-nisan VOC yang tidak memiliki ahli waris, menurut Lilie, kemudian disimpan dalam sebuah gudang. “Batu nisan François Tack termasuk batu yang disimpan di dalam gudang.”
Batu-batu nisan itu umumnya berhias ukiran lambang-lambang heraldik nan elok dan prasasti yang berkisah soal sejarah sosial warga Batavia. Setelah beberapa dekade mendekam di gudang, Lilie berkisah, nisan-nisan itu ditemukan kembali oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen—komunitas warga Batavia yang menaruh perhatian pada seni dan ilmu pengetahuan. Kemudian pada 1844, dibangun aula gerbang utama di permakaman Kebonjahe, dan sejumlah nisan yang tak bertuan tadi dipajang di dinding depannya.
Permakaman Kebonjahe yang dahulu luasnya sekitar 5,5 hektare itu sejak 1977 diresmikan menjadi Museum Taman Prasasti, Jakarta Pusat. Luasnya pun mengkerut hingga 1,3 hektare saja. Nisan keluarga Pieter Janse van Hoorn dan menantunya, François Tack, menghias sayap kanan pada dinding halaman depan museum tersebut.
Nisan mereka berukirkan aneka lambang heraldik nan indah—bintang segi enam, helm bersayap, baju zirah, perisai dengan simbol nafiri—yang membisikkan kisah sejarah nan megah.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR