Klenteng Siang Lay yang dibangun tahun 1865 adalah satu-satunya klenteng yang tersisa di provinsi Nusa Tenggara Timor yang menjadi penanda kedatangan awal masyarakat Tionghoa. Siang Lay berarti marga Lay. Saat National Geographic Indonesia berkunjung ke sana, klenteng tua terlihat sepi pengunjung, ruang dalamnya terlihat bercampur dengan barang-barang lain yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan keagamaan. Bangku-bangku yang tidak digunakan dan jemuran pakaian terlihat di ruang dalamnya.
Bangunan tua itu telah beralih fungsi dari tempat ibadah menjadi rumah abu dan juga dijadikan tempat tinggal bagi keluarga yang merawat klenteng tua tersebut.
Awalnya klenteng itu didirikan oleh Lay Foetlin dan Lay Lanfi. Kemudian dari tahun ke tahun mengalami perombakan karena berbagai hal. Klenteng ini sempat hancur pada saat Perang Dunia II, dibangun kembali pada tahun 1951. Renovasi dilakukan pada tahun 1970, 1973, dan 1975.
Menurut peneliti dari program studi Cina Fakultas Ilmu Budaya Universita Indonesia, Agni Malagina, sangat pentingnya artinya bagi masyarakat Tionghoa pada waktu itu. “Sebuah pecinan tidak lengkap tanpa adanya klenteng, sebab selain menjadi tempat ibadah juga menjadi tempat penyelesaian konflik di antara masyarakat Tionghoa yang bermukim di sekitarnya,” ungkap Agni yang juga kandidat doktor dari Universitas Freiburg, Jerman.
“Tanpa klenteng sebuah kantong pemukiman masyarakat Tionghoa tidak memenuhi syarat disebut sebagai pecinan,” jelasnya lagi.
Klenteng ini sekarang dijaga oleh keluarga Ferry Ngahu, 43 tahun. Pria yang aslinya dari pulau Sabu ini menikahi Yunni Layandri (Lay Yung Cing) yang keluarganya memiliki klenteng tersebut. Aa dan keluarga istrinya yang merawat klenteng itu. Mereka tinggal di rumah sebelahnya yang berhubungan dengan klenteng. Ferry mengakui walau keluarga mereka sekarang memeluk agama kristen tapi tak menghalangi mereka untuk merawat klenteng tersebut.
“Kalau bukan kita yang merawat siapa lagi yang akan merawatnya?” Ferry menjelaskan mengapa keluarganya setia tetap merawat klenteng tua itu.
Sekarang hanya keluarga Lay selaku pemiliknya yang membiayai untuk perawatannya. Maklum karena sudah banyak banyak masyarakat Tionghoa berpindah agama. Perlahan tapi pasti pengunjungnya menyusut drastis. Sekarang hanya digunakan sebagai rumah abu keluarga Lay, peran dan fungsinya tidak sepenting dulu. Tidak ada sumbangan pendanaan dari masyarakat luas.
Ditinjau dari sejarah dan umur bangunan yang lebih dari 50 tahun Klenteng Siang Lay patut dijadikan bangunan cagar budaya. Hal ini diungkapkan Leo Nahak, Kepala Museum Provinsi NTT di Kupang. Bahkan bukan hanya klenteng itu tapi juga kawasan kota tuanya. “Saya berani menyebutkan kalau kota tua itu adalah Heritage!” tegas alumni University of Washington ini.
Klenteng Siang Lay terletak di dekat terminal yang merupakan kawasan kota tua. Lebih lanjut ia menyatakan. “Di sini gedungnya ada yang tua ada yang tidak tidak amat, bagi saya itu relatif. Tetapi jika bisa menunjukan trek sejarah itu sesuatu yang menarik.”
Peran pemerintah sangat diharapkan untuk pelestarian klenteng itu dan juga kawasannya. Menurut Leo pemerintah pusat sudah memberi perhatian. “Jakarta menyediakan dana untuk revitalisasi kota tua, belum menyentuh gedung Klenteng. Tetapi sudah diidentifikasi semua,” ungkapnya saat ditanya soal perhatian pemerintah.
Tapi sampai saat ini seperti yang diakui Ferry Ngahu selaku keluarga yang merawat klenteng belum ada tindakan apapun dari pemerintah. “Waktu itu ada yang datang lalu foto-foto, sampai sekarang belum ada kelanjutannya,” jelas Ferry.
Penulis | : | |
Editor | : | Tabloid Nakita |
KOMENTAR