Pasar terapung sudah lama menjadi identitas Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, meski keberadaannya makin surut. Kini pemerintah setempat mencoba menghidupkan lagi pasar terapung, dengan lokasi baru di Sungai Martapura dekat kantor gubernur. Kini pasar terapung baru itu memberikan nuansa baru pula di akhir pekan.
Pagi merekah. Ratusan warga menuju siring (tepian) Sungai Martapura, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Minggu (12/1/2014). Beragam aktivitas mereka lakukan, mulai dari berolahraga hingga berburu aneka jajanan, sayur-mayur, dan buah-buahan di pasar terapung.
Latipah (40), penjual lontong, hampir tak sempat beristirahat melayani pembeli yang umumnya mengenakan pakaian olahraga. Meski berada di atas perahu, yang biasa disebut jukung, tangannya bergerak lincah membuka bungkus lontong, menempatkannya di piring, kemudian menyiraminya dengan kuah dan menambahkan telur atau ikan gabus sesuai selera pembeli.
Warga yang selesai lari pagi atau senam pagi memang biasa berduyun-duyun turun ke lanting dan menuju jukung Latipah untuk menikmati sarapan dengan lontong khas banjar. Untuk menikmati sepiring lontong tersebut, pembeli cukup mengeluarkan uang Rp 7.000. ”Selain murah, rasanya juga enak,” kata Mispah (36), warga yang baru usai berolahraga.
Warga tak hanya menikmati lontong khas banjar di jukung Latipah, tetapi juga menikmati aneka makanan khas banjar lainnya di jukung yang lain. Makanan yang dijajakan perempuan-perempuan di jukung itu relatif terjangkau karena harganya rata-rata kurang dari Rp 10.000 per porsi.
Sudah hampir satu tahun, setiap Minggu, pasar terapung muncul di Sungai Martapura, tepat di sisi Jalan Pierre Tendean, Kota Banjarmasin. Siring Pierre Tendean berada di tengah kota dan dekat dengan sejumlah pusat aktivitas, seperti Pasar Lama yang merupakan pasar tradisional di darat tertua di Banjarmasin, Kantor Gubernur Kalimantan Selatan, dan kawasan Masjid Sabilal Muhtadin.
Puluhan pedagang yang berjualan di pasar terapung mingguan ini datang dari sejumlah daerah, termasuk dari pasar-pasar terapung yang telah ada dan terkenal, seperti Sungai Lulut, Pasar Terapung Muara Kuin, dan Pasar Terapung Lok Baintan. Latipah, misalnya, adalah pedagang yang berasal dari Pasar Terapung Lok Baintan.
Lebih murah
Seusai sarapan di lanting dengan sensasi bergoyang-goyang, terutama pada saat perahu kelotok atau speed boat melintas, warga langsung menyerbu jukung-jukung yang menjual sayur-mayur dan buah-buahan. Di sana, warga bisa membeli berbagai macam komoditas, antara lain pisang, pepaya, jambu biji, jeruk, rambutan, kangkung, daun singkong, pakis, dan kelapa.
Menurut Tatang (35), warga Banjarmasin, harga sayur-mayur dan buah-buahan di pasar terapung lebih murah daripada harga di pasar biasa. Karena itu, pada hari Minggu, dia kerap berbelanja di pasar terapung. ”Selisih harganya bisa Rp 2.000 sampai Rp 3.000 per satuan,” katanya.
Selain dapat membeli beberapa barang kebutuhan dengan harga murah, berbelanja di pasar terapung bagi Tatang sekaligus sebagai ajang rekreasi. Sebab, pasar terapung menyajikan pesona tersendiri. ”Kalau sudah nongkrong di sini, rasanya lega. Si kecil juga betah berlama-lama di sini,” katanya sambil mengelus-elus kepala anaknya yang berusia tiga tahun.
Data Pemerintah Kota Banjarmasin sebagaimana dikutip Kompas, 9 April 2013, menunjukkan jumlah pedagang di Pasar Terapung Muara Kuin saat ini sekitar 160 pedagang. Padahal, pada tahun 1970-an dan 1980-an jumlah pedagangnya lebih dari 300 orang.
Tatang berharap keberadaan pasar terapung di Banjarmasin tetap lestari. Sebab, pasar terapung menjadi salah satu daya tarik Banjarmasin yang dikenal sebagai ”Kota Seribu Sungai”. (Jumarto Yulianus)
Penulis | : | |
Editor | : | Deliusno |
KOMENTAR