Laporan Vance dan tim itu dipublikasikan 30 Agustus lalu, dengan judul Filtration Performance of Layering Masks and Face Coverings and the Reusability of Cotton Masks after Repeated Washing and Drying. Penelitian ini berawal dari limbah masker yang tersebar di banyak tempat.
"Kami benar-benar terganggu di awal pandemi, ketika pergi mendaki atau pergi ke pusat kota, dan melihat semua masker sekali pakai ini mengotori lingkungan," lanjut Vance.
Untuk mengetahui uji layak masker, mereka tidak menggunakan orang sungguhan, melainkan dipasang di salah satu ujung corong yang akan mengeluarkan udara dan partikel yang dapat diatur para peneliti. Dengan cara ini, mereka dapat meniru kondisi nyata seperti tingkat kelembaban, dan suhu tinggi, yang dapat menggambarkan dampak pada masker dari pernapasan.
Hasilnya, serat kapas mulai terlepas dari waktu ke waktu setelah dicuci dan dikeringkan berulang kali. Tetapi para peneliti menemukan, hal itu tidak secara signifikan mempengaruhi efisiensi penangkalan partikel virus oleh kain.
Baca Juga: Masker dan Sarung Tangan Menjadi Masalah Lingkungan Baru Selama Pandemi
Perubahan kecil yang ditemukan adalah pada resistensi inhalasi, yang berarti masker itu lebih terasa sedikit lebih sulit untuk bernapas setelah robek atau dipakai.
"Kami mengasumsikan tidak ada celah di antara bahan masker dan wajah orang," jelas Vance.
Sebab wajah setiap orang sangat bervariasi, dan semua tergantung pada bentuk masker dan seberapa baik orang itu bisa menyesuaikannya. Bisa jadi kita merasa masker itu cocok atau tidak pada diri kita.
Mereka menyebut, penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa masker yang tidak cocok dapat membuat sebanyak 50 persen partikel di udara akibat proses menghirup napas kita, bisa masuk dan lolos dengan mudah. Tentu, akan mudah bagi virus untuk masuk ke dalam sistem pernapasan.
Baca Juga: LIPI Tawarkan Solusi untuk Masalah Limbah Masker Sekali Pakai
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR