“Perjalanan dari Kotta Bangoen ke permukiman Tring memakan waktu empat hari,” ungkap Carl Alfred Bock. Dia berharap di Moeara Pahou dapat menjumpai suku Dayak Tring, cabang keluarga suku Bahou. Lantaran sampai tiga hari tak berjumpa seorang pun, dia berencana memasuki kampung mereka.
“Namun, Sultan dan pengikutnya berkata bahwa perjalanan menuju ke sana sangat tidak aman,” ungkap Bock. “Suku itu kanibal, dibenci, juga ditakuti oleh tetangga suku mereka." Sultan Aji Muhammad Sulaiman khawatir, suku Dayak akan menduga bahwa rombongannya bersiap menyerang mereka.
“Saya harus melihat mereka karena mendengar kisah bahwa mereka keji dan kanibal. Pemerintah kolonial berharap saya dapat memberikan laporan tentang kebiadaban itu,” pinta Bock. “Dan, saya pasti disalahkan kalau tidak menyaksikan mereka.”
Akhirnya Sultan meluluskan permintaan Bock dengan mengirimkan sebuah perahu dengan seseorang yang akan meminta suku Dayak Tring untuk menampakkan diri. Namun, seminggu berlalu tidak ada kabar. Anehnya lagi, perahu itu tak kunjung kembali. “Apakah mereka telah terbunuh dam dimakan?” demikian keresahan Bock.
Sultan turut gusar. Kemudian dia mengirimkan perahu besar yang dipimpin seorang Kapitan Bugis. Mujurnya, tiga hari kemudian perahu kembali bersama sekitar 40-an warga Dayak Tring, termasuk empat perempuan.
“Seorang pendeta perempuan mempersilakan saya untuk mengambil gambar sosoknya,” ungkap Bock. “Hal yang paling menakjubkan adalah lubang telinganya panjang berbandul cincin logam [...] Selanjutnya, ketiadaan alis.” Perempuan itu mengizinkan Bock untuk mengamati secara detail bagian tubuhnya.
“Kembangan tato di bagian paha juga menjadi hal yang menarik,” ungkapnya. “Rambut mereka yang pendek menjadi pembeda dengan para perempuan suku-suku lainnya; dan warna kulit mereka yang lebih cerah ketimbang suku-suka Dayak lainnya, kecuali orang-orang Punan."
Sambil mengulurkan kedua tangannya, pendeta perempuan tadi berkata kepada Bock bahwa telapak tangan merupakan bagian terbaik untuk dimakan. Dia juga menunjuk lutut dan dahi, sambil berkata dengan bahasa Melayu "bai, bai" (baik) demikian menurut Bock. “Menunjukkan bahwa otak dan daging lutut merupakan hidangan lezat bagi sukunya.”
Kemudian seorang kepala suku Dayak kanibal menyambangi tempat menginap Bock. Namanya, Sibau Mobang. Dia datang bersama pendampingnya—seorang perempuan dan dua lelaki.
“Saat dia memasuki rumah panggung saya,” demikian tulis Bock. “Dia berdiri beberapa saat, tanpa bergerak atau pun berkata, memandangi saya dengan tatapan dalam sementara saya sedang berpura-pura tidak mengamatinya. Lalu, dia duduk dengan pelan sekitar dua meter dari kaki saya.”
Tampaknya Sibau berusia sekitar 50-an tahun, demikian menurut Bock, ompong dan kempot, kulitnya coklat kekuningan, dan agaknya sakit-sakitan. Sejumput rambut kaku menghias kumis dan dagunya. Kupingnya menjuntai dan ditindik dengan lubang besar. Semua penampilan lelaki itu kian menambah kesan angker tentang dirinya.
“Matanya mengekspresikan tatapan mata binatang buas,” ungkap Bock yang mencoba melukiskan sosok lelaki itu, “dan di sekitar matanya tampak garis-garis gelap, seperti bayang-bayang kejahatan.”
Namun, “lengan kanannya, yang berhias gelang logam, kondisinya lumpuh,” ungkap Bock. “Untuk alasan itulah dia menempatkan senjata mandaunya di sisi kanan, dan selama beberapa tahun telah banyak korban dijatuhkan oleh bedebah yang haus darah ini dengan tebasan tangan kirinya.”
Sibau berkata kepada Bock bahwa sukunya tidak makan orang setiap hari. Mereka makan daging dari berbagai satwa, nasi, dan buah-buahan liar. Namun, ujar sang kepala suku, sudah setahun ini mereka tidak makan nasi karena kegagalan panen.
Bock yang saat itu tengah melukis Sibau, kemudian buru-buru menyajikan seketel nasi yang baru saja masak kepada mereka. Lalu, dengan taburan garam, mereka menyantap nasi pulen itu.
Sebagai kenang-kenangan, Bock memberikan bingkisan berupa uang dua dolar tiap orang yang telah dilukisnya. Selain itu rombongan Dayak kanibal mendapat sepikul beras, untaian tasbih manik-manik, kain blacu yang panjangnya sekitar 22 meter untuk dibagi bersama.
Sementara, Kepala Suku Sibau memberikan kenang-kenangan yang membuat merinding bagi penerimanya. Bock mendapatkan dua tengkorak—lelaki dan perempuan tanpa rahang bawah—trofi dari pesiar berburu kepala. Semuanya dibungkus daun pisang.
Carl Alfred Bock merupakan naturalis dan pelancong berkebangsaan Norwegia. Bock melakukan perjalanan ke pedalaman Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan pada 1879. Ketika itu usianya masih 30 tahun.
Kisah penjelajahannya dibukukan dalam The Head Hunters of Borneo yang terbit pada 1881. Buku itu berhias 37 litografi dan ilustrasi, umumnya tentang orang dan budaya Dayak.
Sibau juga memberikan kepada Bock sebuah perisai kayu yang dicat dengan pola warna semarak. “Perisai itu dipercaya sebagai harta istimewa,” ungkap Bock, “berhiaskan helai-helai rambut yang diambil dari korban manusia.”
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR