Sebagai contoh, dulu para pengungsi di Cisarua ditempatkan di rumah-rumah warga yang memang disewakan. Selain itu mereka juga diberi uang makan oleh UNHCR sekitar Rp1.4 juta per bulan per kepala. Jika sebuah keluarga pengungsi terdisi atas sepasang suami istri dan tiga anak, keluarga itu mendapatkan uang makan Rp7 juta per bulan. Dan uang ini akhirnya akan dibelanjakan di di wilayah tersebut
"Mereka disewakan rumah itu juga jadi pemasukan warga setempat, mereka juga belanja di pasar," papar Feri. "Belum lagi karena mereka dari daerah tertentu, mereka punya kebutuhan khusus, kebutuhan untuk berkomunitas dan hiburan, misalnya. Itu yang kemudian menjadikan Puncak sekarang punya banyak kafe bergaya Timur Tengah karena kehadiran dan kebutuhan saudara-saudara pengungsi ini."
Feri mengatakan dirinya mendapat oleh-oleh pelajaran penting dari pengalaman liputannya ke tempat pengungsian di Cisarua itu. Ia berharap bahwa masyarakat Indonesia harus senantiasa menghindari konflik fisik agar tidak bernasib sama seperti penduduk Afganistan.
Yuli Seperi, fotografer yang turut meliput tempat pengungsian di Tanjung Pinang, juga mendapat wawasan berharga dari perjumpaannya dengan sejumlah pengungsi di sana. Orang-orang etnis Hazara dari Afganistan yang menjadi pengungsi di sana mengatakan kepada Yuli bahwa Indonesia termasuk beruntung karena alamnya indah dan kondisinya damai.
Baca Juga: Dalam Enam Bulan 10 Juta Orang Terpaksa Mengungsi karena Bencana Iklim
Orang-orang Hazara merupakan suku minoritas di Afganistan. Mereka hidup berpusat di provinsi tertentu di Afganistam dan dikelilingi oleh provinsi-provinsi lain yang didiami suku Pashtun yang merupakan penduduk mayoritas di negara tersebut.
Orang-orang Hazara yang mengungsi di Tanjung Pinang itu berkata kepada Yuli bahwa sulit bagi Afganistan untuk bisa damai karena adanya konflik antaretnis turun-temurun di sana. Menurut mereka, jika provinsi yang dihuni oleh etnis Hazara diberi kemerdekaan sendiri, mungkin barulah Afganistan bisa lebih damai, tuturnya.
Pada September 2021 ini majalah National Geographic Indonesia terbit dengan menampilkan foto sampul karya Kiana Hayeri. Foto itu berkisah tentang sosok ibu yang sedang berduka, menziarahi salah satu dari 90 makam korban pengeboman sekolah di Kabul, Afganistan.
Majalah National Geographic Indonesia edisi September ini juga memuat kisah peliputan dari jurnalis Jason Motglagh bertajuk “Bencana Perpecahan Afganistan" yang terbit dalam 28 halaman. Jason Motlagh adalah seorang penulis dan pembuat film yang telah meliput perang di Afganistan sejak 2006. Sementara Kiana Hayeri adalah fotografer Kanada keturunan Iran yang telah bekerja di Afganistan sejak 2013.
Baca Juga: Kisah Para Pengungsi dari Timur Tengah dan Afrika yang Bertahan di Trotoar Kebon Sirih
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR