Nationalgeographic.co.id—Kembali berkuasanya Taliban di Afganistan pada pertengahan tahun 2021 telah menimbulkan gelombang pengungsi baru dari negara di Asia Selatan itu. Berdasakan data dari United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), badan pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), hingga akhir tahun 2020 saja tercatat sudah ada 2,6 juta penduduk Afganistan yang keluar dari negaranya dan kemudian menjadi pengungsi di negara-negara lain. Jumlah pengungsi dari Afganistan pada tahun tersebut merupakan yang terbanyak ketiga di dunia, setelah Suriah dan Venezuela.
Pada 2021, dengan kondisi politik dan sosial terbaru, diprediksi jumlah pengungsi dari Afganistan itu akan naik bertambah lagi dan mereka nbakal memenuhi kamp-kamp pengungsian di negara-negara lain, termasuk Indonesia. Berdasarkan data pengungsi di Indonesia menurut catatan UNHCR, per Juni 2021 ada 10.082 pengungsi dan 3.334 pencari suaka di negara ini. Menurut hukum Indonesia, semua 13.416 orang itu sama-sama didefinisikan sebagai pengungsi.
Dari 13.416 orang tersebut, 7.490 di antaranya merupakan pengungsi dari Afganistan. Angka ini menjadikan Afganistan sebagai "pengekspor" pengungsi terbanyak di Indonesia, mengungguli Somalia dengan 1.376 pengungsi di urutan terbanyak kedua, Irak dengan 708 pengungsi di urutan ketiga, dan Myanmar dengan 707 pengungsi di urutan keempat.
Mahandis Yoanata Thamrin, Managing Editor National Geographic Indonesia, memiliki pengalaman meliput kondisi pengungsi asal Afganistan dan negeri lainnya di Indonesia sekitar sedekade lalu. Dalam tulisan berjudul “Mengejar Harapan di Tanah Seberang” yang terbit di National Geographic Indonesia edisi November 2011, Yoan—sapaan Mahandis Yoanata—menuliskan kisah para pengungsi asing yang ia temui di Jakarta, Bogor, dan Tanjung Pinang tersebut.
Dalam Bincang Redaksi ke-34 National Geographic Indonesia bertajuk "Selidik Arsip: Pengungsi Afganistan dan Negara Lain di Indonesia" yang diadakan pada Sabtu sore, 4 September 2021, Yoan mengatakan sebenarnya sudah menjadi takdir bahwa Indonesia menjadi negara persinggahan bagi para pengungsi. "'Persinggahan' saya menyebutnya, bukan 'tujuan'," tegas Yoan.
Para pengungsi yang Yoan tanyai, baik dari Afganistan maupun negara lainnya, mengatakan bahwa mereka sebenarnya bertujuan mencari suka ataupun kehidupan yang lebih baik ke Australia dan Selandia Baru. Mereka hanya singgah sementara di Indonesia yang menjadi rute perjalanan yang harus mereka lalui. Namun begitu, dengan beberapa alasan dan kondisi, mereka bisa tinggal cukup lama di Indonesia hingga berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
Feri Latief, fotografer yang menemani Yoan berkunjungan ke tempat pengungsian di Cisarua, Bogor, mengatakan bahwa masing-masing pengungsi memiliki latar belakang berbeda saat meninggalkan negara mereka. Ada yang memang merupakan korban perang dengan bekas-bekas luka di tubuhnya, ada pula yang merasa hidupnya terancam karena hidup di bawah rezim otoriter, rinci Feri. Ada dosen bergelar doktor, ada pula yang anggota militer berpangkat kolonel, tambahnya.
Baca Juga: Berulang Kali Kuasai Afganistan, Apa yang Sebenarnya Taliban Inginkan?
Tujuan mereka pergi ke negara lain sama. "Sederhananya, mereka ingin mencari kehidupan yang lebih baik di negara yang lebih baik, lebih damai, lebih tenteram, dan lebih tertib," tutur Feri.
"Biasanya yang benar-benar korban perang akan mendapatkan penempatan ke negara tujuan mereka dengan lebih cepat."
Feri juga mengatakan bahwa para pengungsi yang singgah di Indonesia bisa tinggal lama karena tak kunjung mendapatkan penempatan di Australia atau Selandia Baru dari UNHCR. Dan menurut Feri, kehadiran para pengungsi di Indonesia ini, meski kerap dianggap beban negara, sebenarnya turut menghidupkan perekonomian lokal setempat.
Baca Juga: Mengenal Shamsia Hassani, Seniman Jalanan Wanita Pertama Afganistan
Sebagai contoh, dulu para pengungsi di Cisarua ditempatkan di rumah-rumah warga yang memang disewakan. Selain itu mereka juga diberi uang makan oleh UNHCR sekitar Rp1.4 juta per bulan per kepala. Jika sebuah keluarga pengungsi terdisi atas sepasang suami istri dan tiga anak, keluarga itu mendapatkan uang makan Rp7 juta per bulan. Dan uang ini akhirnya akan dibelanjakan di di wilayah tersebut
"Mereka disewakan rumah itu juga jadi pemasukan warga setempat, mereka juga belanja di pasar," papar Feri. "Belum lagi karena mereka dari daerah tertentu, mereka punya kebutuhan khusus, kebutuhan untuk berkomunitas dan hiburan, misalnya. Itu yang kemudian menjadikan Puncak sekarang punya banyak kafe bergaya Timur Tengah karena kehadiran dan kebutuhan saudara-saudara pengungsi ini."
Feri mengatakan dirinya mendapat oleh-oleh pelajaran penting dari pengalaman liputannya ke tempat pengungsian di Cisarua itu. Ia berharap bahwa masyarakat Indonesia harus senantiasa menghindari konflik fisik agar tidak bernasib sama seperti penduduk Afganistan.
Yuli Seperi, fotografer yang turut meliput tempat pengungsian di Tanjung Pinang, juga mendapat wawasan berharga dari perjumpaannya dengan sejumlah pengungsi di sana. Orang-orang etnis Hazara dari Afganistan yang menjadi pengungsi di sana mengatakan kepada Yuli bahwa Indonesia termasuk beruntung karena alamnya indah dan kondisinya damai.
Baca Juga: Dalam Enam Bulan 10 Juta Orang Terpaksa Mengungsi karena Bencana Iklim
Orang-orang Hazara merupakan suku minoritas di Afganistan. Mereka hidup berpusat di provinsi tertentu di Afganistam dan dikelilingi oleh provinsi-provinsi lain yang didiami suku Pashtun yang merupakan penduduk mayoritas di negara tersebut.
Orang-orang Hazara yang mengungsi di Tanjung Pinang itu berkata kepada Yuli bahwa sulit bagi Afganistan untuk bisa damai karena adanya konflik antaretnis turun-temurun di sana. Menurut mereka, jika provinsi yang dihuni oleh etnis Hazara diberi kemerdekaan sendiri, mungkin barulah Afganistan bisa lebih damai, tuturnya.
Pada September 2021 ini majalah National Geographic Indonesia terbit dengan menampilkan foto sampul karya Kiana Hayeri. Foto itu berkisah tentang sosok ibu yang sedang berduka, menziarahi salah satu dari 90 makam korban pengeboman sekolah di Kabul, Afganistan.
Majalah National Geographic Indonesia edisi September ini juga memuat kisah peliputan dari jurnalis Jason Motglagh bertajuk “Bencana Perpecahan Afganistan" yang terbit dalam 28 halaman. Jason Motlagh adalah seorang penulis dan pembuat film yang telah meliput perang di Afganistan sejak 2006. Sementara Kiana Hayeri adalah fotografer Kanada keturunan Iran yang telah bekerja di Afganistan sejak 2013.
Baca Juga: Kisah Para Pengungsi dari Timur Tengah dan Afrika yang Bertahan di Trotoar Kebon Sirih
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR