Nationalgeographic.co.id—Di mata orang Eropa, lautan adalah sesuatu yang harus ditaklukkan untuk memenuhi kebutuhan dan rasa kejantanan kalangan laki-laki. Itu sebabnya, jarang ada laporan pengelanaan orang Belanda dengan kapal berisi perempuan ke negeri koloninya sebelum 1870, ketika Terusan Suez dibuka dan negerinya condong liberal.
Pada masa VOC, para prajurit Belanda kebanyakan adalah laki-laki yang melajang hingga yang sebenarnya sudah beristri di Eropa. Karena ketiadaan perempuan Eropa di sana, untuk memuaskan birahi, mereka memilih untuk bergundik nyai atau melacur dengan perempuan lokal.
Barang tentu masalah kelamin ini juga jadi urusan VOC yang sudah menancapkan tiang koloninya. Sudah banyak negeri di Nusantara yang dikuasai, maka Kompeni tinggal mencari siasat untuk mengisi tanahnya dengan penduduk.
Mengutip Bukan Tabu di Nusantara karya Achmad Sunjayadi, pada 1609 ketika VOC hendak berdiri, 36 perempuan dari Belanda pernah dikirimkan menggunakan kapal. Mereka adalah istri serdadu dan pegawai VOC yang dikirim ke Ambon dan Jayakarta (Batavia kemudian).
Dilaporkan dua di antaranya meninggal dalam pelayaran 10 bulan itu. Dan nasib perempuan tidak diketahui setibanya di tanah koloni.
Jan Pieterszoon Coen yang menjadi gubernur jenderal satu hingga dua dekade setelahnya ingin melakukan hal serupa, setelah melihat pergundikan dan pelacuran terjadi. Rencana ini bertujuan "Supaya orang-orang kompeni bisa mendapatkan pasangan yang pantas untuk tinggal di koloni, maka kirimkanlah kami perempuan-perempuan muda," tulis Coen dikutip Sunjayadi.
Baca Juga: Kekayaan Google atau Apple, Tidak Mampu Menandingi Kekayaan VOC
Tak hanya gadis, J.P Coen bahkan mengusulkan agar orang-orang Belanda mau bermigrasi ke Hindia Timur bersama keluarganya masing-masing. Dia mengirimkan surat kepada Heren XVII yang berisi para direktur bisnis VOC dengan menawarkan, "Jika perempuan tersedia, pasar-pasar perdagangan di Hindia akan menjadi milik Anda."
Dia mengusulkan agar 400 hingga 500 anak laki-laki dan perempuan didatangkan dari panti asuhan di Belanda. Laki-laki dan perempuan yang dikirim harus dua banding satu, dan perempuan adalah 2:1, dan yang perempuan akan tinggal di sekolah khusus yang akan dibiayai Kompeni hingga mereka dewasa nanti untuk dinikahkan dengan pria Belanda yang baik.
Tawaran Coen dikabulkan pada 1621, dengan dikirimkannya tiga keluarga bersama beberapa gadis muda menuju Batavia. Berdasarkan catatan harian yang disimpan di Batavia yang dikutip Sunjayadi, ada enam perempuan yang kebanyakan adalah lajang, dari usia 11 hingga 20 tahun. Mereka disebut sebagai compagniedochters (putri-putri kompeni).
Mereka harus menandatangani kontrak tinggal selama lima tahun di Hindia, seperti pegawai VOC lainnya. Tetapi mereka tidak mendapatkan upah, mereka akan mendapat 'mas kawin' dari kompeni jika berjodoh di sana.
"Para perempuan itu jelas merupakan anak yatim piatu atau berasal dari keluarga miskin karena tidak mungkin mereka yang berasal dari kalangan terhormat diizinkan oleh keluarganya berlayar melintasi lautan menuju Hindia yang penuh bahaya," tulis Sunjayadi dalam bukunya. Dia adalah pengajar di Program Studi Belanda di Universitas Indonesia.
Baca Juga: Kisah Flying Dutchman, Kapal Era VOC yang Tak Pernah Bisa Berlabuh
Beberapa tahun setelah kedatangan kapal ke Batavia pada 1622, rupanya rencana J.P Coen gagal karena gadis-gadis suci perawan yang diharapkannya tidak dikirim. Dia, sebagai pendiri Batavia menganggap dewan direksi itu tidak serius membangun koloni. Selain itu perkawinan perempuan dan laki-laki Belanda di Hindia mengalami keguguran dan tingginya kematian anak.
Berbeda dengan Coen, para direksi di Heren XVII lebih berpendapat biaya pengangkuatan gadis yatim piatu yang sudah cukup umur untuk dikawinkan harganya mahal untuk diajak ke Batavia. Perempuan juga menjadi 'beban' di kapal, yakni menyebabkan disiplin yang buruk bagi awak.
Solusi bagi kemandulan dan kematian anak justru lebih baik "...jika laki-laki kita mengawini perempuan pribumi, maka lahirlah anak-anak yang kuat, tegap, serta panjang umur." Para direksi lebih setuju dengan perkawinan campur yang bisa beradaptasi di iklim tropis.
Pada 1632, gerbang untuk perempuan ke Hindia Timur di tutup kembali. Syarat pernikahan campur adalah harus yang seagama. Tetap saja peraturan ini tidak berlaku bagi pegawai VOC di koloni, mereka lebih memilih pergundikan, yang kemudian secara terpaksa dilegalkan kembali.
Baca Juga: J.P. Coen Memuji Warga Tionghoa, Namun Mengapa VOC Membantai Mereka?
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR