Dua serdadu di bawah komando tentara Sekutu tengah dirawat di sebuah rumah sakit di Mojokerto, Jawa Timur. Bruce Anderson, seorang perwira resimen Australia dan W. Daniells, penerbang muda dari Inggris.
Anderson merupakan satu-satunya serdadu yang selamat saat penyergapan gerombolan gerilyawan Republik. Semua anggota regu perwira itu tewas dibantai. Sementara Daniells keadaannya lebih parah, di dekat jantungnya telah bersarang pecahan peluru.
K’tut Tantri menjumpai mereka atas perintah Amir Sjarifoeddin, Menteri Pertahanan Republik Indonesia, untuk menyelidiki keadaan para tawanan di rumah sakit itu. Demi keselamatan kedua tawanan itu, Amir meminta Tantri untuk membawanya menuju ke Ibu kota Republik, saat itu di Yogyakarta. Kota itu resmi menjadi ibu kota negara semenjak 4 Januari 1946 sampai 17 Agustus 1950.
Evakuasi tawanan perang menuju ke Yogyakarta tak semudah dibayangkan. Mereka harus meyakinkan para laskar rakyat yang berjaga di desa-desa yang mereka lewati. Saat itu rakyat sangat marah sekali dengan tentara asing.
Tantri dan seorang kolonel mengantar Anderson menuju ke Yogyakarta. Sepuluh hari kemudian, Tantri harus kembali ke Mojokerto untuk menjemput Daniells dan membawanya ke Yogyakarta. Mereka dirawat di rumah keluarga seorang kolonel.
Amir mengurus selekas mungkin supaya dua tawanan itu diterbangkan ke Jakarta. Namun, dua tawanan itu justru berniat tidak ingin pergi dari Indonesia. “Kami berdua bisa sangat berguna bagi negara Anda,” ujar Daniells kepada Amir. “Anderson bisa melatih para pemuda untuk melakukan dinas ketentaraan, sedang saya bisa mengajari mereka terbang.”
Kemudian Daniells melanjutkan, “Kami merasa malu karena negara kami mengangkat senjata terhadap bangsa Anda. Jika kami diizinkan tetap disini, kami bersedia membantu.”
“Masa bodoh apabila aku dihukum pengadilan militer dengan tuduhan berkhianat,” ujar Anderson. “Aku ingin tinggal di sini. Aku orang Australia sedang negeriku tidak sedang berperang melawan Indonesia.”
Namun demikian, Amir tidak bisa mengabulkan permintaan kedua serdadu yang saat itu statusnya masih tawanan perang.
Kedua tawanan itu justru berinisiatif meminta diri mereka untuk ditukar dengan 200 tawanan tentara Republik yang kini ditawan di Jakarta. “Dengan begitu setidaknya kami ini ada gunanya,” kata Anderson kepada Amir.
Akhirnya terjadi kompromi kedua pihak. Indonesia dan Inggris menyutujui pertukaran tawanan perang.
Kisah sejarah tersebut ditulis oleh K’tut Tantri dalam otobiografinya, Revolt in Paradise, yang terbit pertama kali di New York pada 1960. Buku ini juga pernah diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama dengan judul Revolusi di Nusa Damai pada 1982 dan 2006.
Nama sejatinya Muriel Stuart Walker, warga negara Amerika Serikat kelahiran Inggris. Dia berada di Indonesia selama lima belas tahun, 1932-1947. Awalnya dia tinggal di Bali, diangkat sebagai anak oleh Raja Bali yang memberinya nama lokal ”K’tut Tantri”.
Dalam buku itu dia berkisah tentang perjalanannya dari New York hingga ke Hindia Belanda, bermukim di Bali, jatuh cinta dengan ningrat setempat, hidup dalam tawanan Jepang, dan mendukung kemerdekaan Indonesia.
K’tut Tantri wafat di Australia pada 1997 dalam usia 99 tahun. Dia pernah menjalani hidup menderita sebagai tawanan perang Jepang. Bahkan, pernah dinyatakan tewas dalam kamp. Sayang, keterlibatan Tantri dalam gerilya dan perjuangan revolusi Republik Indonesia tampaknya kini nyaris dilupakan oleh bangsa Indonesia.
"Sambungan kisah kedua pemuda ini mengharukan," ungkap Tantri, "menampakkan kelembutan hati bangsa Indonesia."
Hari yang dinanti pun tiba. Anderson dan Daniells diterbangkan ke Jakarta. Sesaat sebelum keduanya berangkat, demikian Tantri berkisah, Daniells memberikan ucapan selamat tinggal yang cukup berani, meski di depannya berdiri para perwira Inggris.
”Selamat tinggal,” ujar sang penerbang muda itu. “Mudah-mudahan negara Anda berhasil merebut kemerdekaan dengan segera. Merdeka! Tetap merdeka!”
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR