Pada akhir 2004, ribuan massa memadati Maidan—Lapangan Kemerdekaan di jantung Kiev, Ukraina. Sebuah negeri yang telah sekian lama menderita kelesuan di bawah penguasa yang korup dan jahat, dan pemilu demokratis pertama yang mengubah arah bekas negara bagian Soviet ini.
Sepanjang minggu-minggu yang dingin itu saat rezim lama mencoba membajak pemilihan presiden dan masa depan yang berada di ujung tanduk, orang-orang Ukraina, tua dan muda, membanjiri ibu kota. Mereka mendirikan sebuah kota tenda di Maidan dan merebut Kreshchatyk, jalan pusat kota Kiev yang sekaligus menjadi jalan utama di Ukraina.
Inilah potret Ukraina di persimpangan masa: awal kepemimpinan dari Viktor Yushchenko (yang kisahnya ditulis dalam NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA Maret 2006).
I.
Dengan korupsi yang melilit selama tahun-tahun pemerintahan Presiden Leonid Kuchma, Ukraina nyaris mencapai kondisi negeri yang paria.
Kepala negaranya ditolak pada konferensi NATO, dan banyak Tentara Merah muncul di sudut-sudut dunia yang tak layak. Sementara itu di dalam negeri, sengketa usaha muncul mirip perang di kawasan komplotan penjahat. Polisi masih menemukan korban yang dicabut nyawanya di balik tembok dan di bawah lantai bangunan.
Jenazah seorang reporter pembangkang yang tak berkepala, wajah korban keracunan dari pesaing presiden. Keduanya lambang yang mengerikan dari sikap pemerintahan lama yang tak taat hukum, sikap tak acuh yang sama yang menempatkan perekonomian Ukraina dalam keadaan tergadai kepada para penjahat.
II.
Selama bertahun-tahun Yushchenko menanti giliran. Dalam era gelap, Ukraina —bangsa dengan 46 juta rakyat di negeri dengan luas wilayah kira-kira enam kali Pulau Jawa— berpindah menjadi sebuah tanah feodal dari berbagai klan regional dan oligarki bangsawan perampok. Para reformis melancarkan serangan yang lemah terhadap lembaga yang berkuasa.
Bagi bangsa Ukraina yang mendambakan kesempatan untuk melepaskan diri dari bayang-bayang Rusia dan bergabung dengan Eropa dan Negara Barat lainnya, Yushchenko melambangkan harapan besar yang terakhir.
Lalu, hampir seperti sudah diatur, datang peristiwa yang nyaris merenggut nyawa Yushchenko. Yushchenko, selama kampanye pemilihan presiden, jatuh sakit parah. Ia pun harus segera dan diam-diam dipindahkan keluar negeri untuk pengobatan darurat. Para dokter Austria menemukan penyebab penyakitnya yang nyaris fatal: keracunan dioksin. Meski ia selamat, namun dengan sebuah wajah cacat yang berisikan kebiadaban rezim lama, yang diyakini oleh banyak orang telah memerintahkan pembunuhan Yushchenko.
Alih-alih membunuh, para pesaing justru secara tak sengaja membantu revolusinya. Sebuah deklarasi bergema di seluruh Ukraina pada kebangkitan perjalanan Yushchenko menuju tampuk kekuasaan: Ya Stoyav na Maidani! Artinya “Saya berdiri di Maidan”. Ucapan ini juga berarti, saya di sana, saya membela kebebasan, saya berhak mengharapkan perubahan.
Tatkala itu, dunia menyaksikan situasi tanpa kejelasan tersebut. Seraya bertanya: akankah timbul perang saudara antara Ukraina barat, kubu Yushchenko, dan bagian timur negeri ini yang didiami sebagian besar dari delapan juta etnis Rusia di Ukrania? Hal ini tidak terjadi. Dengan dikelilingi pasukan anti huru-hara, para protester bertahan secara damai. Senjata mereka hanya spanduk, kaus, selendang, dan balon, semuanya berwarna jingga. Lahirlah Revolusi Oranye.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR